orang beriman selalu mendapat ujian allah apakah kamu pernah mengalami

Kitaharus percaya bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia karena Allah Maha Bijaksana. Keimanan seseorang akan bertambah setelah ia mengalami cobaan. Maka orang tidak bisa dikatakan beriman ketika orang itu belum dicoba keimanannya dengan cobaan. Classement Des Sites De Rencontres En France. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah. Ketika dihadapkan dengan berbagai masalah dan guncangan hidup, biasanya timbul perasaan galau, cemas, resah, dan gelisah. Bukan hanya kita, Nabi Muhammad SAW pun juga pernah mengalami kesedihan mendalam pada masa amul huzni tahun duka cita, yaitu ketika beliau ditinggal wafat oleh pamannya Abu Thalib dan sang istri tercinta, Khadijah binti perasaan sedih ataupun senang adalah suatu kewajaran, sebab hati manusia sifatnya memang mudah berbolak-balik. Begitupun dengan masalah-masalah yang datang di kehidupan, hal tersebut sudah menjadi Takdir Ilahi. Sebagaimana firmannya dalam surat Al-Balad ayat 40, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia pasti akan ditimpa kesusahan. Walau demikian, Allah SWT tidak pernah meninggalkan hambanya sendirian, yakni orang-orang yang selalu mengamalkan rukun iman, rukun islam, sumber syariat islam, dan dasar hukum islam. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 40لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kami” QS. At Taubah 40 Baca juga Hati Nurani Menurut Islam dan Al-Quran dan Cara Mencari Ketenangan dalam IslamCara Memperoleh Ketenangan Hati Sesuai Ajaran IslamSetiap manusia pasti mendambakan ketenangan batin. Namun sayang, banyak orang yang menempuh jalan salah untuk memperoleh kesenangan seperti pergi ke diskotik, mabuk-mabukan, dan sejenisnya. Padahal perbuatan tersebut justru merugikan dan hanya menghilangkan kesedihan untuk sesaat. Jika kita mampu memahami ajaran agama, sebenarnya islam telah memberikan solusi-solusi untuk mengatasi persoalan hidup. Misalnya saja untuk menenangkan hati, kita dianjurkan memperbanyak dzikir, bersabar, shalat, dan berpikiran dibawah ini beberapa cara menenangkan hati dalam islamMemperbanyak DzikirullahBerbagai macam urusan duniawi dan kesibukan tiada akhir terkadang membuat seseorang lupa akan mengingat Tuhannya. Hingga pada saat ia ditimpa masalah, maka hatinya akan dipenuhi dengan kekalutan. Lalu bagaimana jika hal ini sudah terjadi? Apa yang bisa dilakukan? Apakah duduk termenung sambil mendengarkan musik bisa menenangkan hati? Tidak!Ketahuilah, hati yang sedih dan bimbang hanya bisa diobati dengan berdzikir kepada Allah SWT. Jangan sampai hati menjadi kosong, sebab ketika hati terasa kosong maka iblis akan merasuk kedalamnya membisikkan hal-hal buruk dan membuat diri semakin bersedih. Allah SWT berfirman dalam surat Ar Ra’du ayat 28الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ“Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”Dengan memperbanyak amalan dzikir, bertasbih menyebut nama-nama Allah secara terus-menerus di waktu pagi dan petang maka hati menjadi sejuk, damai dan kita akan memperoleh ketentraman yang hakiki. Sebagaimana firmannya dalam surat Thaa-Haa ayat 130 فَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ ٱلشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ ءَانَآئِ ٱلَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ ٱلنَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَىٰ“Dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” Thaa-Haa 130.Berwudhu dan shalatSelama ini kita mengetahui bahwa berwudhu berfungsi untuk mensucikan diri dari najis dan hadas. Namun tahukah anda, berwudhu juga bisa jadi penawar racun hati. Disaat sedih dan gelisah, kita dianjurkan untuk berwudhu sehingga dosa-dosa akan luntur dan jiwa lebih tenang. Sebab Allah SWT menyukai orang-orang yang mensucikan diri berwudhu, sebagaimana firmnan-Nyaإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ…..“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” QS. Al-Baqarah 222Setelah berwudhu, kita disarankan melakukan Shalat. Dengan shalat, kita tidak hanya memenuhi rukun iman tetapi juga melindungi diri dari penyakit-penyakit hati. Bila kita bisa shalat dengan khusyu’ dan tidak tergesa-gesa, insyaAllah ketenangan batin bisa dicapai. Baca juga Keutamaan Shalat Witir yang Luar Biasa dan Keutamaan Shalat Dhuha yang Luar BiasaMembaca Al-QuranAl Quran merupakan pedoman umat muslim sekaligus penenang hati. Orang-orang yang senantiasa membasahi lidahnya dengan lantunan ayat-ayat suci lalu mengamalkan Al-Quran di kehidupannya, niscaya jiwanya akan الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka karenanya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. QS. Al Anfal 2 Baca juga Manfaat Baca Al-quran Setiap Hari yang Luar Biasa dan Fungsi Al-quran Bagi Umat ManusiaSenantiasa sabar dan ikhlasSabar dan ikhlas adalah kunci untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Sesungguhnya musibah, kemiskinan, serta penyakit yang datang pada diri kita adalah ujian dari Allah SWT. Barang siapa mampu bersabar dan menerimanya dengan ikhlas, maka Allah akan memberikan ketentraman di hatinya. Rasa sabar itu akan menjadi ladang pahala dan kebahagian bagi mereka. Sebagaimana firmannya dalam surat Al-Baqarah ayat 155-157وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ 155 الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ 156 أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ 157“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Al-Baqarah 155-157.Berprasangka Baik terhadap Allah SWTDari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, Allah berfirman “Aku Allah sesuai dengan persangkaan hamba pada-Ku. Muttafaqun alaih” Hadist ini mengajarkan kepada setiap muslim untuk selalu berprasangka baik huznuzhon dan berharap kepada Allah kita bersedih, lalu berdoa. Kita harus yakin doa kita akan dikabulkan oleh Allah. Jangan sampai berpikiran bahwa Allah tak mencintai kita. Berdoa bisa membuat hati jadi tenang. Percayalah Allah pasti mengabulkan doa, asalkan kita juga bertaqwa dan beriman سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” QS. al-Baqarah 186Memperbanyak rasa syukurKetika seorang hamba bersyukur atas apa yang ia miliki, tidak iri dengan kehidupan orang lain, maka Allah SWT akan menambahkan kenikmatan dalam diri orang tersebut. Baik berupa nikmat harta, kesehatan, dan nikmat ketenangan jiwa. Oleh karena itu, perbanyaklah bersyukur karena syukur bisa membuat hati terasa lapang dan terhindar dari penyakit iri dan تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌAllah SWT berfirman “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” QS. Ibrahim 7Itulah beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menenangkan hati. Yang terpenting, kita harus yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Kesulitan itu tidak boleh menjadikan diri kita lemah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-insyirah ayat 5 yang artinya “Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Maka dari itu, jangan sampai kita memelihara kesedihan berlarut-larut ataupun berputus asa. Baca juga Jiwa Tenang Dalam Islam Amalan dan Dalilnya, dan Hidup Bahagia Menurut Islam Penjelasan dan Dalil-nya – Sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam kehidupan setiap hamba teriring dengan ujian dan bebanan hidup yang silih-berganti. Hal ini Allah Ta’ala jamin keberlangsungannya dalam firman-Nya, Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” QS. al-Baqarah, 2155 Donasi Situs Islam Arrahmah Arrahmah Care Rp 0terkumpul Serupa pula dengan firman-Nya, Artinya, “Dan sungguh, Kami akan benar-benar menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar diantara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.” QS. Muhammad, 4731 Demikian juga halnya terhadap dakwah yang haq yaitu dakwah yang didasari oleh petunjuk Yang maha pembuat syari’at dengan bertujuan mentauhidkan-Nya dan mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Maka bentuk dakwah ini senantiasa tidak akan terlepas daripada ujian, rintangan, dan ancaman, baik secara mental maupun fisik. Laksana kata, dakwah yang haq tanpa dibarengi ujian dan rintangan, seperti sebuah hal yang patut dipertanyakan—dakwah seperti apakah itu? Oleh karena beratnya beban yang harus diterima, maka sedikitlah yang mampu melaksanakan dakwah haq ini karena takut akan konsekuensinya. Sebaliknya, mereka yang mampu dan tetap istiqomah menopang ujian dan rintangan demi tersebarnya syari’at Allah di muka bumi ini, mereka akan tegar dan berjiwa besar. Berikut beberapa ujian dan rintangan para du’at penyampai dakwah dalam mendakwahkan yang haq 1. Dibenci dan dimusuhi Mendakwahkan yang haq merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim dari Rabb-nya, terutama kepada yang memiliki kemampuan dakwah semisal para du’at. Namun tugas ini sungguhlah berat karena akan mendapat perlawanan dari hizbutthaghut yang tidak akan tinggal diam jika kebenaran yang hakiki ditebarkan di muka bumi. Perlawanan ini telah ada sejak zaman para nabi dahulu dan berkekalan hingga akhir zaman. Akan hal ini, Allah Ta’ala berfirman, Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa.” QS. al-Furqon, 2531 Lalu firman-Nya, Artinya, “Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin.” QS. al-An’am, 6112 Dan juga firman-Nya, Artinya, “Dan demikianlah Kami adakan bagi tiap-tiap negeri, penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu-daya dalam negeri itu.” QS. al-An’am, 6123 Melalui tiga ayat ini, Allah Ta’ala telah menggariskan sebentuk ujian keimanan bagi para hamba pilihan-Nya melalui adanya sekelompok penentang kebenaran dan para penyeru kekafiran yang tak hentinya membuat makar. Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda, الْمُؤْمِنُ بَيْنَ خَمْسِ شَدَائِدَ مَؤْمِنٌ يَحْسُدُهُ, وَ مُنَافِقٌ يُبْغِضُهُ, وَ كَافِرٌ يُقَاتِلُهُ, وَ نَفْسٌ يُنَازِعُهُ, وَ شَيْطَانٌ يُضِلِّهُ. Artinya, “Orang mu’min senantiasa berhadapan dengan lima ujian yang menyusahkan, yaitu oleh mu’min yang mendengkinya, oleh munafik yang selalu membencinya, oleh kafir yang selalu memeranginya, oleh nafsu yang selalu bertarung untuk mengalahkannya, dan oleh setan yang selalu menyesatkannya.” Al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithob, 4/181 2. Didustakan Allah Ta’ala berfirman, Artinya, “Dan sesungguhnya telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan yang dilakukan terhadap mereka sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merubah kalimat-kalimat janji-janji Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu.” QS al-An’am, 634 Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat tersebut merupakan penghiburan dan ta’ziyah bagi nabi saw lantaran didustakan oleh kaumnya. Ayat ini juga merupakan perintah bagi beliau saw agar bersabar seperti sabarnya para ulul azmi dan merupakan janji dari Allah yaitu akan diberi pertolongan dan kemenangan seusai didustakan dan disakiti, sebagaimana firman-Nya di surat al-Mujadalah ayat ke-21, “…Aku dan rasul-Ku pasti menang.” 3. Dianggap pembual dan pendongeng Para ulama robbani seperti juga yang dialami oleh Rasulullah dan para nabi terdahulu, pun mendapat perlakuan yang sangat tidak menyenangkan dari umat yang akidahnya masih dan telah terkontaminasi kesesatan. Mereka menganggap dalil dan hujjah yang disampaikan para du’at merupakan hasil angan-angan dan rekayasa semata. Al-Qur’an dan hadits diremehkan sebagai sesuatu yang dibuat-buat dan dianggap cipta-karya makhluk semata, serta dituduh sebagai alat pemenuh-kepentingan dunia semata. Berikut ayat yang berisi tuduhan-tuduhan keji mereka, Artinya, “Dan orang-orang kafir berkata, “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain.” Sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata, “Itu hanya dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” QS. al-Furqon, 254-5 4. Diejek dan dipermainkan Zaman memang telah berubah, namun intrik-intrik setan takkan lekang dimakan roda zaman. Keberadaan ulama robbani yang merupakan pewaris para nabi dan sejatinya dimuliakan lagi diikuti, pun kini tak jauh berbeda dengan nasib para ulama di masa lalu. Seruan mereka mengajak umat kepada kebenaran yang hakiki, dianggap lelucon yang pantas ditertawakan. Ancaman mereka yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah bagi yang menolak dan berpaling untuk mengikuti syari’at, disikapi dingin seolah ancaman itu hanya gertak sambal’ semata. Hujjah orang-orang penolak kebenaran di masa ini hanya terpaut kepada dua hal saja, yaitu setia mengikuti agama nenek-moyang dengan mengatakan حَسْبُنَا مَا وَ جَدْنَا عَلَيْهِ أَبَاءَنَا “cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek-moyang kami mengerjakannya…” QS. al-Ma’idah, 5104 dan berpendapat bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah sudah tak sejalan lagi dengan perkembangan zaman. Pribadi-pribadi berwatak seperti ini akan selalu eksis dan menjadi batu ujian bagi para du’at. Allah Ta’ala menyebutkan karakter seperti ini dalam firman-Nya, Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulu menertawakan orang-orang yang beriman.” QS. al-Mutaffifin, 8329 Dan firman-Nya, Artinya, “Alangkah besarnya penyesalan terhadap para hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” QS. Yasin, 3630 Selain itu, mereka para penolak kebenaran–tak sungkan-sungkan melabeli para warosatul anbiya ini dengan gelaran wong gendheng alias orang yang gila. Bahkan kejahilan tersebut mereka sampaikan langsung ke diri Rasulullah saw, seperti pada firman-Nya, Artinya, “Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” QS. al-Hijr, 156 Perhatikan juga perkataan mereka di ayat berikut, Artinya, “Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” QS. adz-Zariyat, 5152-53 Namun demikian, hamba-hamba-Nya yang terpilih akan terus gencar menyampaikan risalah kenabian meski mental mereka senantiasa dilemahkan pihak-pihak yang memusuhinya. 5. Didebat dengan kebatilan Bentuk rintangan berikutnya adalah penolakan melalui berbagai hujjah yang mengandung kebatilan. Para munafiqin ini, terutama yang memiliki kekuasaan—cekatan memilih dan menggunakan’ para ulama yang masih mempunyai kecenderungan kepada keduniaan untuk menyebarkan opini-opini sesat mereka kepada umat. Para ulama penyesat umat ini bahkan tak segan-segan mengeluarkan fatwa demi legitimasi syar’i sehingga pemberlakuan undang-undang positif yang berseberangan dengan syari’at Islam menjadi legal. Alhasil, para masyayikh moderat ini mempresentasikan dien Islam secara serampangan tanpa dalil yang syar’i. Perkara ini persis seperti yang telah Allah Ta’ala kemukakan dalam firman-Nya, Artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” QS. al-Kahfi, 1856 Ad-Darimi meriwayatkan, Ziad bin Hudair berkata, “Umar bin Khattab pernah berkata kepadaku, “Tahukah engkau apa yang akan merusak Islam?” Aku menjawab, “Tidak tahu.” Lalu beliau berkata, “Yang akan merusaknya adalah kekeliruan seorang ulama, perdebatan kaum munafik terhadap al-Qur’an, dan berkuasanya para pemimpin yang menyesatkan.” 6. Dituduh menipu-daya Sifat bawaan setan dan para pengikutnya diantaranya adalah pandai menipu-daya. Sifat ini merupakan senjata andalan sejak iblis menipu Adam dan istrinya di surga dahulu. Keadaan ini juga mereka putar-balikkan sehingga para ulama robbani justru yang dituduh telah memperdaya umat dengan penyampaian materi-materi dakwahnya yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan kaum sesat tersebut. Dari golongan manusia yang disebutkan al-Qur’an, ada Fir’aun yang menganggap nabi Musa as telah menipu kaumnya, lalu Fir’aun berhujjah bahwa petunjuknya lah yang benar. Artinya, “Musa berkata, “Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!” Fir’aun berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” QS. al-Mu’min, 4029 Begitu juga makar yang ditujukan para tukang sihir Fir’aun terhadap nabi Musa as dan Harun as dengan menuduh keduanya telah melakukan tipu-daya sihir kepada Fir’aun guna merebut kekuasaan. Artinya, “Mereka berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” QS. Thaha, 2063 Kedekatan para ulama bayaran’ terhadap penguasa thaghut di masa ini sudah bukan rahasia umum lagi, maka disanalah loyalitas sosok ulama robbani berperan yaitu gigih memperjuangkan dakwah di jalan yang telah digariskan-Nya dan tegar dalam menghadapi segala perkara yang menyeleweng dari shirathal mustaqim. 7. Dilarang berdakwah Alangkah besarnya musibah tatkala seorang du’at melaksanakan dakwahnya dengan didasari pendiktean dari pihak penguasa. Ia menjadi tawanan bagi setiap keinginan sang penguasa dan senantiasa berupaya untuk tidak menyelisihi keinginan mereka. Syari’at yang dianggap aneh oleh khalayak awam dan dirasa tak kompeten lagi terhadap perubahan zaman, mereka substitusi dengan fatwa hasil ijtihad’ hawa-nafsu mereka. Keadaan ini tentu saja amat bertolak-belakang dengan fungsi para du’at sesungguhnya yaitu sebagai penyampai dalil syari’at yang haq. Oleh sebab itu, para ulama Robbani yang bernaung dibawah panji-panji syari’at dipersempit ruang geraknya dalam berdakwah, bahkan penguasa dan pihak yang bersangkutan dengannya, tak malu lagi untuk mengisolasi’ geliat dakwah para du’at lurus ini. Perhatikan berita yang berkaitan dengan perkara ini; beberapa waktu lalu ketua BNPT Anshad Mbaai sempat mengusulkan kepada pemerintah untuk dikeluarkannya sertifikasi ulama di Indonesia. Ide nyeleneh tersebut diluncurkan tak lain untuk menjegal para ulama yang dianggap radikal dan anti bekerja-sama dengan penguasa demi kelanggengan otoriternya. Rintangan ini bak sebuah pelengkap bagi aksi penjegalan yang sudah lebih dulu disosialisasikan’ di masa sebelumnya yaitu melarang para ulama tertuduh’ tersebut untuk menyampaikan dakwahnya di masjid-masjid, di mimbar-mimbar Jumat, atau di media-media massa. Risalah ini serupa dengan yang terjadi di masa Rasulullah saw, Artinya, “Mereka orang-orang yang mengatakan kepada orang-orang Anshar, “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang Muhajirin yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar meninggalkan Rasulullah.” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” QS. al-Munafiqun, 637 8. Dituduh sesat Rintangan lainnya yang lazim dihadapi para du’at adalah dengan mengalami tuduhan menyebarkan pemahaman sesat. Hal ini merupakan lagu lama’ yang diputar-balikkan umat yang masih awam namun tak berusaha keluar dari kejahiliaannya kepada para du’at tersebut. Terlebih para du’at yang menjalani medan dakwah dengan menyambangi umat ke pelosok-pelosok wilayah yang hampir tak terjamah pemerataan pembangunan pemerintah. Sulitnya menjangkau keberadaan mereka, ditambah proyek’ pemerintah yang telah menjadikan mereka sebagai cagar alam’ yang harus dijaga kelestarian budayanya, adat-istiadatnya, beserta keunikan’ cara beragamanya. Tak ayal lagi menambah rentang jarak yang harus dilalui para du’at untuk melakukan dakwahnya. Namun tak hanya umat yang tersebar di pelosok, keadaan umat di perkotaan pun tak beda mirisnya. Mereka terkontaminasi kebudayaan luar yang tak kalah bahayanya. Akibatnya, mereka menolak dalil haq dengan HAM, mencurigai para ulama bak perintang kebebasan berekspresi mereka, dan menuduh petunjuk dinullah sebagai sebuah kesesatan. Dalam sejarah, kaum Syu’aib pun melaungkan kebenaran sebagai suatu kesesatan yang pantas dijauhi. Artinya, “Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata kepada sesamanya, “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian menjadi orang-orang yang merugi.” QS. al-A’raf, 790 Demikian juga yang dilakukan Fir’aun laknatullah kepada rasul-Nya, Musa as. Artinya, “Dan berkata Fir’aun kepada pembesar-pembesarnya, “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” QS. al-Mu’min, 4026 9. Dituduh memecah-belah umat Ujian berupa tuduhan sebagai pemecah-belah umat juga lazim’ diterima para ulama robbani. Mereka yang mengusung dakwah yang bersumber dalil al-Qur’an dan as-Sunnah harus menerima resiko berupa penolakan umat yang awam dan kaum munafik. Isi dakwahan yang banyak meluruskan kesalahan umat disalah-artikan umat sebagai upaya dalam menghapus bentuk peribadahan yang sudah terbiasa dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu mereka. Keawaman yang ingin diubah para du’at menjadi kefaqihan, malah dipertahankan demi menjaga warisan nenek-moyang dalam beragama. Dalam firman-Nya, Allah menceritakan hal serupa yang dilakukan oleh Fir’aun berikut dengan cara antisipasi kejinya, Artinya, “Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun kepada Fir’aun, “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini Mesir dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” Fir’aun menjawab, “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka; dan sesungguhnya kita berkuasa penuh diatas mereka.” QS. al-A’raf, 7127 10. Dituduh “teroris” Allah Ta’ala berfirman tentang prilaku para musuhnya dalam memerangi Islam dan para utusan-Nya, Artinya, “Dan berkata Fir’aun kepada pembesar-pembesarnya, “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” QS. al-Mu’min, 4026 Terpatri pada diri setiap ulama rabbani dan juga pada diri setiap penuntut ilmu untuk tercapainya tujuan dakwah yang beroleh ridha Illahi. Telah berkata Aisyah ra tentang sabda Rasulullah, مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسُخْطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَ أَرْضَى عَنْهُ النَّاسِ وَ مَنِ الْتَمَسَ رِضَى النَّاسِ بِسُخْطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ. Artinya, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan kemurkaan manusia, maka Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia ridha kepadanya. Sedangkan orang yang mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia murka kepadanya.” HR. Ibnu Hibban, Mawaridh adh-Dham’an; 1542 Tercatat dalam shirah para nabi dan para sholafush sholih terdahulu adalah didapati bahwa barisan terbesar para penentang agama Allah Ta’ala adalah para pembesar kerajaan dan para ahli yang mengelilinginya. Di zaman ini, pemerintah dan para petinggi negaralah yang mewarisi sifatnya. Karena dengan kekuasaan, mereka leluasa memilah oknum’ yang dianggap sejalan dengan kepentingannya dan dengan tampuk kepemimpinan berada di tangan, maka mereka mampu memaksakan kehendak dalam roda pemerintahannya. Perkara ini menjadi suatu momok yang menakutkan para pendakwah. Itu sebabnya tak semua du’at berani mengambil resiko ini. Hanya mereka yang gigih mengikuti bentuk perjuangan dakwah para nabi yang mampu mengatasinya. Terdapat suatu hadits berkenaan dengan ini, أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ. Artinya, “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat yang benar dihadapan penguasa yang sewenang-wenang.” HR. Abu Daud dan At Trmidzi Sayyid Quthb dalam kitab Ma’alimun fith-Thoriq mengatakan “Sesungguhnya kemenangan dalam bentuk yang tertinggi ialah kemenangan rohani atas materi, kemenangan akidah atas segala rasa sakit, kemenangan atas semua bentuk ujian, siksaan, dan godaan. Sebuah kemenangan yang akan memuliakan setiap manusia, inilah kemenangan yang hakiki.” Perlakuan kaum kafir dan munafik saat ini terhadap para ulama robbani dan para mujahid fi sabilillah sudah berada pada tingkat yang mengundang laknat Allah Ta’ala. Para pembuat makar yang juga menjadi antek-antek kafir asing itu kian membabi-buta berusaha membabat habis para penegak agama Allah. Sejuta aksi dan fitnah mereka layangkan demi menutup lisan para du’at. Diantaranya dengan tuduhan keji sebagai pelaku teror, sebagai pengikut aliran ekstrim, atau sebagai penganut Islam radikal. Semua julukan itu dilimpahkan agar para du’at menjadi gentar untuk meneruskan dakwah haqnya dan agar umat berpaling serta mengasingkannya. 11. Disiksa agar kembali kafir Penyiksaan adalah salah-satu ujian yang biasa dialami para ulama robbani dalam mengusung dakwah yang haq. Ujian ini begitu berat bahkan sampai terkadang harus mengalami terpisahnya ruh dari badan. Makar yang kejam ini dilakukan oleh jiwa-jiwa yang sudah meleburkan-dirinya bersama setan laknatullah sehingga hati-nurani dan kefitrahan yang dianugerahkan kepadanya menjadi terkontaminasi dan mati. Allah azza wa jalla menjelaskan, Artinya, “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakitimu; dan mereka ingin supaya kamu kembali kafir.” QS. al-Mumtahanah, 602 Begitu juga firman-Nya, Artinya, “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama dengan mereka. Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolongmu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah..” QS. an-Nisa’, 489. Para nabi dan para sholafush sholih banyak mengalami rintangan seperti ini. Mereka ada yang dibakar, ada yang dikuliti hingga terlihat daging dan tulangnya, ada yang ditindih dengan batu besar di padang pasir nan terik, ada yang dibui tanpa diberi makan, dan beragam siksaan lainnya. Namun iman mereka kepada Rabbul alamin tetap terpelihara dalam jiwa-jiwa yang tenang dan yakin akan janji-Nya. Ketakutan manusiawi yang dirasakan dalam menghadapi siksaan dari makhluk, tak ada bandingannya dengan ketakutannya terhadap Allah Ta’ala apabila berlaku khianat dalam dakwah kepada umat. Seperti yang Allah Ta’ala firmankan, Artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” QS. Fathir, 3528 Dalam ayat ini Allah Ta’ala menegaskan bahwa para ulama adalah orang yang memiliki rasa takut kepada-Nya dengan sepenuh makna. Meski rasa takut kepada Allah azza wa jalla juga dimiliki oleh kaum mukminin secara umum, namun rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para nabi, rasul, dan para ulama robbani. 12. Difitnah agar meninggalkan dakwah yang haq Ulama, hakikinya adalah mereka yang mewarisi sifat para nabi dalam berdakwah, beramar-ma’ruf, dan bernahi-munkar. Mereka berjihad di jalan Allah dan mampu menerima segala resiko yang mengancam demi tercapainya tujuan dakwah. Di tengah usaha dakwah mereka, mungkin akan mengalami tekanan berupa infiltrasi atau campur-tangan kaum munafik yang menginginkan arah dakwah tak terlalu keras’ menghantam berbagai kepentingan dunia penguasa dan kroni-kroninya. Mereka kaum munafik akan berupaya merangkul’ dan menghibahkan bermacam kesenangan dunia agar semangat dakwah para ulama robbani menjadi kendor dan ketaklukan terhadap penguasa bisa terjadi. Dalam satu firman, Allah Ta’ala berkata, Artinya, “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu. Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” QS. al-Qolam, 689-10 Dalam tafsir Ibnu Katsir, dikatakan bahwa Ibnu Abbas ra menjelaskan ayat diatas bahwa jikalau seorang mu’min memberikan suatu keringanan dalam masalah syari’at kepada orang munafik, maka orang munafik itu akan memberikan keringanan pula kepadanya. Sebaliknya, jika seorang mu’min menegakkan suatu perkara diatas syari’at, maka kaum munafik pun akan menegakkan makarnya menentang dalil tersebut. 13. Diancam, ditangkap, dipenjarakan, disiksa, atau dibunuh Berikut beberapa ayat yang bisa dijadikan contoh beberapa makar hizbussyaiton terhadap para utusan Allah, Allah SWT berfirman Artinya, “Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka, “Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami.” Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka, “Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu.” QS. Ibrahim, 1413 Artinya, “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” QS. al-Kahfi, 1820 Artinya, “Mereka menjawab,”Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti menyeru kami, niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” QS. Yasin, 3618 Artinya, “Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” QS. al-Anbiya, 2168 Artinya, “Dan ingatlah, ketika orang-orang kafir Quraisy memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu-daya dan Allah menggagalkan tipu-daya itu dan Allah sebaik-baik pembalas tipu-daya.” QS. al-Anfal, 830 Ditangkap, diusir, dilempari batu, dirajam, dibakar, hingga dibunuh—itulah beberapa siksaan fisik yang lazim menyertai para pendakwah di jalan Allah. Kerasnya siksaan dan pedihnya penderitaan yang dialami tak jua mengikis kekokohan perjuangannya dalam membumikan kalimat tauhidullah. Tak terbetik sedikitpun bagi mereka untuk sudi mengikuti makar kaum munafikin dalam upaya menyesatkan umat dari petunjuk yang hakiki, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Baginya hanya ada dua pilihan; Hidup dalam kemuliaan atau mati dalam kesyahidan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika ada ulama yang meninggalkan apa yang ia ketahui dari al-Qur’an dan as-Sunnah, lalu mengikuti kehendak pemerintah yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah murtad keluar dari Islam menjadi kafir, dan berhak mendapatkan hukuman setimpal, baik di dunia maupun di akhirat.” Majmu Fatawa’ Ibnu Taimiyyah, jilid ke-35, hal. 372-373 Begitu pula apa yang disabdakan oleh Rasulullah dalam riwayat Tsauban, إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِيْنَ. Artinya, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para imam yang menyesatkan.” HR. Muslim Mudah-mudahan Allah Ta’ala menjaga keistiqomahan para du’at dalam menjaga kemurnian dinullah serta membimbing para tholabul ilmi untuk ikut-serta mendawamkan kebenaran yang hakiki ini sepenuh kemampuan yang dimiliki. Wallahul musta’an. Semoga bermanfa’at. Wallahu’alam bish shawab… ____________________________________________ Oleh Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman Sumber Suffering is a reality experienced by every human being as an integral part of their life. As part of one’s life, suffering is inevitable. Some people whose faith in the benevolent God has been shaken by their worst suffering ask the question “Why does not God eliminate suffering if He is gracious and omnipotent?” This article sheds light on the problem of suffering using the Scriptures and theology, to find the different meanings behind it. From the biblical perspective, it will explore a number of meanings of suffering that essentially assert how suffering also serves to bring goodness to human life. These meanings are then complemented with a theological perspective which is based on the three aspects of soteriology, ecclesiology, and eschatology. Through this exploration, Christians are invited to “make peace” with their suffering by way of finding its different meanings. Suffering as a gift’ might help the believers embrace life in its fullness and accept their being human. The concept of God as the Loving Father’ could also help them find strength in facing suffering and grow in their faith as God’s children. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 285MELINTAS DI TENGAH PENDERITAAN SUATU INSPIRASI TEOLOGIS-BIBLIS KRISTIANIElvin Atmaja Hidayat Graduate Student Faculty of Philosophy Parahyangan Catholic University Bandung, IndonesiaAbstractSuffering is a reality experienced by every human being as an integral part of their life. As part of one’s life, suffering is inevitable. Some people whose faith in the benevolent God has been shaken by their worst suffering ask the question “Why does not God eliminate suffering if He is gracious and omnipotent?” This article sheds light on the problem of suffering using the Scriptures and theology, to fi nd the different meanings behind it. From the biblical perspective, it will explore a number of meanings of suffering that essentially assert how suffering also serves to bring goodness to human life. These meanings are then complemented with a theological perspective which is based on the three aspects of soteriology, ecclesiology, and eschatology. Through this exploration, Christians are invited to “make peace” with their suffering by way of fi nding its different meanings. Suffering as a gift’ might help the believers embrace life in its fullness and accept their being human. The concept of God as the Loving Father’ could also help them fi nd strength in facing suffering and grow in their faith as God’s in suffering  biblical inspiration  soteriology  ecclesiology  eschatology  the Loving [285-308] 286Introduksi Dari Manakah Datangnya Penderitaan?Terminologi derita’ memiliki arti menanggung merasai sesuatu yang tidak menyenangkan, sementara istilah penderitaan’ didefi nisikan sebagai penanggungan, perihal cara, dan sebagainya Dalam konteks Kristianitas, asal penderitaan di muka bumi sulit ditelusuri karena dikisahkan bahwa dalam Kitab Kejadian Allah yang Mahabaik telah menciptakan segala sesuatu “baik adanya”. Penderitaan sebagai sesuatu yang “tidak baik” dengan demikian dianggap bukan berasal dari Allah. Lalu, dari manakah datangnya penderitaan?Pertanyaan ini selaras dengan apa yang diserukan oleh G. W. Leibniz 1646-1716 dalam bukunya Esai tentang Teodisea, “Si Deus, unde malum?” “kalau Allah ada, dari manakah datangnya keburukan?”.2 Leibniz menyebutkan ada tiga jenis keburukan yang masing-masing mengakibatkan penderitaan dalam kadar yang berbeda. Keburukan pertama disebutnya keburukan fi sik malum physicum yang mewujud dalam bentuk penderitaan secara jasmani. Keburukan kedua disebut keburukan metafi sik malum metaphysicum yang mewujud dalam penderitaan akibat bencana alam, dan keburukan ketiga disebut keburukan moral malum morale yang merupakan akibat langsung penyalahgunaan kehendak bebas manusia, atau yang dapat disebut sebagai kejahatan’.3 Pada kenyataannya, banyak penderitaan manusia yang diakibatkan oleh tindakan jahat manusia lainnya yang tidak bertanggung jawab. Jadi, meskipun dalam beberapa kasus tertentu penderitaan bersumber dari bencana alam yang tidak disebabkan oleh manusia, penderitaan tidak terlepas begitu saja dari peran manusia. Berdasarkan gagasan Leibniz, diperoleh pemahaman bahwa penderitaan dapat diatasi sekaligus tidak dapat diatasi. Penderitaan pertama yang berasal dari keburukan fi sik malum physicum, yaitu ketika tubuh mengalami rasa sakit karena suatu penyakit atau hal-hal yang menyakitkan, dapat dicegah atau diatasi dengan memakan makanan sehat, berolah raga teratur, menghindari hal-hal yang berpotensi membahayakan keselamatan diri, dan sebagainya. Keburukan jenis ini dimengerti sebagai proses pembelajaran agar manusia berhati-hati dalam menjaga kesehatannya atau sebagai sanksi karena manusia lalai merawat tubuhnya sendiri. Meskipun begitu, penderitaan fi sik yang terjadi karena faktor keturunan atau genetis tidak dapat diatasi, melainkan hanya dapat diterima. Misalnya, penderitaan seorang anak yang berasal atau ditimbulkan dari keadaan cacat fi siknya Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 287MELINTAS lahir, tidak memiliki salah satu organ tubuh, atau kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata, atau tidak berfungsinya salah satu panca indera, dan sebagainya. Sumber penderitaan kedua disebut “keburukan metafi sik” karena berasal dari luar diri manusia dari alam dan melampaui batas-batas kemampuan atau pengendalian manusia. Keburukan metafi sik ini menimbulkan penderitaan yang juga dapat diatasi sekaligus tidak dapat diatasi. Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam berupa gempa bumi, tsunami, dan angin topan sama sekali tidak dapat diatasi oleh manusia. Suatu bencana alam dapat diatasi atau dicegah oleh manusia sejauh bencana tersebut disebabkan oleh campur tangan manusia sendiri. Misalnya, bencana banjir yang disebabkan oleh kebiasaan membuang sampah sembarangan dan menebang hutan secara liar, atau bencana tanah longsor yang ditimbulkan oleh tindakan manusia mengeruk tanah secara berlebihan. Penderitaan manusia yang berasal dari keburukan metafi sik dan yang dapat diatasi tampaknya lebih berhubungan erat dengan moralitas. Sumber penderitaan ketiga dalam gagasan Leibniz ialah keburukan moral malum morale. Penderitaan jenis ini merupakan satu-satunya yang dapat diubah oleh kemampuan atau usaha manusia sendiri. Dengan mengubah keburukan moral ini menjadi kebaikan, hilanglah pula penderitaan yang diakibatkan olehnya. Dengan kata lain, penderitaan ini dapat diatasi atau ditanggulangi oleh manusia dengan mengubah keburukan moral atau sifat dan perbuatannya yang jahat menjadi kebaikan. Banyak contoh penderitaan terjadi karena keburukan moral ini. Para korban bencana alam dan rakyat miskin, misalnya, mengalami penderitaan semakin besar karena bantuan yang seharusnya disalurkan kepada mereka dikorupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung Contoh lain ialah seorang anak menderita karena mengalami pelecehan seksual oleh seorang guru bahkan orang tua kandung yang selama ini menjadi panutan hidupnya. Penderitaan juga dialami oleh rakyat sipil yang menjadi korban peperangan di sejumlah negara. Penderitaan semacam itu tidak akan pernah terjadi jika oknum-oknum terkait memiliki moralitas yang baik. Sementara itu, dalam perspektif evolusionis yang dipelopori oleh Pierre Teilhard de Chardin 1881-1955, penderitaan dipandang muncul sebagai dampak dari dunia yang diciptakan Allah secara evolutif. Dalam proses evolusi dunia dari yang relatif tidak sempurna menuju keadaan 288yang sempurna, pasti terdapat beragam bentuk kejahatan, kegagalan, dan kesengsaraan yang mau tak mau terjadi. Jadi, menurut pandangan kaum evolusionis, penderitaan tidak berasal dari Allah, seakan-akan telah diciptakan-Nya sejak permulaan dunia, namun berasal dari proses evolusi Proses semacam ini terjadi pula dalam berbagai realitas kehidupan manusia, misalnya, dalam proses menuju kesuksesan hidup. Di China, misalnya, para atlet atau seniman yang berprestasi mengalami proses pelatihan amat keras sejak Anak-anak ini mengalami penderitaan dalam pelatihan karena harus melakukan apa yang mungkin tak mereka sukai dan karena harus kehilangan masa-masa bermain mereka. Terkait penjelasan mengenai proses evolutif ini, Allan McGinnis mengisahkan kesaksian hidup para tokoh dunia, misalnya, Isaac Newton yang mengalami kegagalan saat studi di bangku Sekolah Dasar, Werner von Braun yang gagal dalam bidang studi Aljabar di masa sekolah, atau Ludwig van Beethoven yang dinilai tidak berbakat Mereka semua adalah tokoh-tokoh hebat yang pernah mengalami kegagalan dan melakukan perjuangan keras hingga menyiksa diri, sampai akhirnya berhasil meraih kesuksesan. Seluruh proses ini harus terjadi dalam kerangka evolusi alam semesta, sebagaimana dinyatakan oleh Chardin bahwa “Nothing is constructed except at the price of an equivalent destruction.”8 Asal penderitaan dijelaskan sebagai konsekuensi logis atau sebagai sesuatu yang harus terjadi dari proses evolutif untuk mencapai sebagai Problem ImanSebagian orang dapat menerima penderitaannya dan menjadi semakin beriman saat diuji dalam penderitaan, sementara sebagian yang lain tidak dapat menerimanya dan kehilangan iman. Bagi orang yang tidak dapat menerima penderitaan hidupnya, Allah yang Mahakasih dianggap sebagai semacam konsep tipuan atau khayalan, sehingga kurang diimani, karena dianggap tidak membantu. Dalam penghayatan hidup beriman, penderitaan, terutama yang dialami orang-orang saleh, menimbulkan pertanyaan besar atas konsep Allah yang Mahaadil, Mahakasih, dan Mahakuasa. Orang bertanya-tanya mengapa penderitaan juga terjadi atas seseorang yang tidak pernah berbuat jahat terhadap sesamanya, dan mengapa Allah tidak menolong dengan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 289MELINTAS Leonard SJ, misalnya, menerima rentetan pertanyaan serupa ketika adik perempuannya, Trecey, mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan total di usia dua puluh delapan tahun. Padahal, Trecey adalah seorang perempuan yang amat baik. Hari-hari hidupnya dibaktikan untuk merawat orang-orang paling menderita di Kalkuta dan mengelola klinik kesehatan untuk orang-orang Aborigin di Keats, Australia, bersama para biarawati. Leonard menerima banyak surat penghiburan bagi adiknya semenjak peristiwa itu, dan beberapa di antaranya terdengar menakutkan’ baginya karena berbunyi, “Trecey pasti telah melawan Allah sehingga ia mendapat hukuman selagi ia masih hidup di muka bumi.”10 Bagi Leonard, surat penghiburan itu merupakan teologi yang mengerikan, karena justru tidak mendekatkan manusia kepada Allah dalam situasi terburuk yang menimpa hidup Kisah yang dialami oleh Leonard ini menunjukkan bahwa realitas penderitaan sering disalahpahami. Penderitaan sering hanya dimaknai secara sempit sebagai hukuman’ atas dosa manusia. Pemaknaan semacam ini tidak lagi tidak bisa secara sempit dipandang sebagai sekadar hukuman’ dari Tuhan atas dosa manusia. Jawaban yang pasti mengenai asal penderitaan karenanya akan selalu menjadi pertanyaan dari masa ke masa. Di sini penderitaan menjadi sebuah problem, terutama dalam penghayatan iman akan Allah yang Mahabaik. Penderitaan sebagai salah satu sisi kehidupan manusia yang tak terelakkan tetap merupakan suatu misteri, sehingga tidak satu pun ciptaan tahu mengapa Allah menganugerahkan’-nya. Hal yang jelas ketika berbicara mengenai penderitaan ialah, bahwa penderitaan merupakan realitas hidup manusia yang nyata dan tak terhindarkan. Tulisan ini berusaha memaparkan pendekatan atas problem penderitaan tersebut dalam kajian biblis dan teologis. Tujuannya, umat beriman terbantu untuk bertahan dalam iman, manakala berhadapan langsung dengan realitas penderitaan yang tak Biblis Perspektif Kitab Suci Perjanjian Lama Gagasan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama setidaknya dapat dimaknai dalam tiga konsep, yakni 1 sebagai hukuman atas dosa pribadi, 2 sebagai pengorbanan, yaitu silih atas dosa orang lain dan konsekuensi atas iman kepada Allah dan kebenaran, 3 sebagai awal Gagasan-gagasan ini nanti akan diperbarui atau diperlengkapi dengan perspektif Kitab Suci Perjanjian Baru. 290Pertama, penderitaan dipandang sebagai hukuman atas dosa manusia. Ini merupakan pandangan yang umum berlaku dalam Perjanjian Lama. Kitab Kejadian yang mengawali Perjanjian Lama dan seluruh Kitab Suci menggambarkan bahwa dunia ini diciptakan oleh Allah sebagai baik adanya. Segala sengsara, penyakit dan derita mulai masuk ke dalam dunia yang diciptakan Allah sebagai baik itu karena pasangan manusia pertama berdosa dengan menuruti godaan setan Kejadian 2. Akibatnya, dalam Kej. 314-19, digambarkan bahwa Adam harus bekerja keras dan Hawa akan kesakitan pada waktu melahirkan, sebagai hukuman atas dosa mereka. Dalam Kitab Ulangan 30 dikatakan bahwa Tuhan akan menghukum bangsa Israel jika mereka tidak menuruti perintah-perintahNya. Pandangan umum Perjanjian Lama mengenai penderitaan sebagai hukuman atas dosa dirumuskan secara singkat dalam Amsal 119, “Siapa berpegang pada kebenaran sejati, menuju hidup, tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian.” Dengan kata lain, pemberontakan dosa manusia terhadap Sang Pencipta menjadi penyebab terjadinya penderitaan misalnya, Yes. 534-12. Dalam Kitab Bilangan 1210-12 juga terdapat kisah Miryam yang menderita kusta karena iri hati. Konsep pertama tentang penderitaan yang khas dari Perjanjian Lama ini juga eksplisit dalam Kitab Ayub, meskipun tidak terbukti dalam diri Ayub sendiri. Para sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya menganggap bahwa kemalangan besar yang dialami Ayub merupakan sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuatnya, atau dengan kata lain sebagai suatu implikasi konkret konsep “pembalasan di bumi”.13 Menurut konsep “pembalasan di bumi” ini, semua perbuatan manusia, baik kejahatan maupun kebaikan akan diganjar pada saat manusia masih hidup. Hukum ini diandaikan mesti terjadi karena kehidupan setelah kematian belum dikenal dalam alam pikir Perjanjian Lama..14Kedua, penderitaan dimaknai sebagai suatu pengorbanan. Pengorbanan yang berpotensi menimbulkan penderitaan terdiri atas dua aspek, yaitu 1 silih atas dosa orang lain berkorban demi sesama, dan 2 konsekuensi iman kepada Allah dan kebenaran berkorban demi iman. Perjanjian Lama memuat aspek pertama dalam kisah penderitaan yang dialami oleh Yeremia, nabi yang harus banyak menderita karena tugas kenabiannya. Sedemikian berat deritanya sampai ia berani berseru kepada Allah, “Mengapakah penderitanku tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 291MELINTAS Sungguh, Engkau seperti sung ai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” Yer 1518. Perikop mengenai “hamba Tuhan yang menderita”, yang dideskripsikan sebagai seseorang yang kenyang dengan penderitaan dan dianggap sebagai orang yang dikutuk Tuhan, padahal dia diremukkan oleh karena dosa manusia Yes 535, dapat menjadi jawaban atas penderitaan yang dialami oleh para nabi dan rasul. John J. Collins, berdasarkan “Kidung Hamba Yahwe” itu, menggambarkan penderitaan seorang hamba’ sebagai orang yang diserahkan kepada kematian dan dihitung bersama orang-orang jahat, meskipun ia sendiri tidak melakukan kejahatan. Hidupnya diserahkan laksana kurban bagi orang Jadi, orang benar bisa menderita demi keselamatan orang lain, dan ia mewakili sesamanya dalam menanggung hukuman atas Aspek kedua yang menggambarkan penderitaan sebagai konsekuensi atas iman kepada Allah dan kebenaran termuat misalnya dalam Kitab 2Makabe 7. Dalam kitab ini dikisahkan tujuh orang bersaudara yang rela disiksa sampai mati demi mempertahankan iman mereka kepada Allah, kepada perjanjian dan perintah-perintahNya, dan akan kebenaran yang mereka imani. Gagasan ini memberikan suatu teladan kemartiran bagi orang beriman, yang menurut Collins harus diterima agar Hidup Abadi Berbeda dari pengertian penderitaan’ dalam aspek pertama, penderitaan yang dimaksud dalam aspek kedua ini tidak mengandung aspek penebusan atau penderitaan demi orang lain. Apa yang diperjuangkan dalam konteks kedua ialah kebenaran ideologis, pembelaan akan keyakinan yang dipercaya mampu menyelamatkan pribadi yang bersangkutan, suatu kematian demi mempertahankan iman. Terkait perikop 2Makabe 7 ini, Alphonse P. Spilly memberikan penafsiran mengenai kemartiran. Hal terutama yang mau diajarkan ialah bahwa ketaatan kepada hukum lebih penting daripada hidup itu sendiri lebih baik mati daripada melanggar hukum. Kematian dianggap tidak menakutkan karena Allah diyakini sebagai pencipta dan pemulih kehidupan; Allah dapat membuat semesta alam dan manusia dari kekosongan, maka Ia juga dapat memulihkan kehidupan Ketiga, penderitaan dipandang sebagai awal dari suatu kebaikan. Penderitaan dimaknai sebagai pendahulu’ atau “pembuka jalan” bagi sesuatu yang baik. Gagasan ini dijelaskan misalnya dalam kisah Yusuf dan Ayub. Yusuf mengalami penderitaan karena dibenci dan dijual oleh saudara-saudaranya, dan sempat mengalami nasib sebagai orang asing dan 292difi tnah oleh istri Potifar di Mesir. Yusuf berkata, “Janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” Kej. 455. Bagi Pauline A. Viviano, teologi yang ada di balik kisah Yusuf sangat jelas, yaitu bahwa Allah telah mengarahkan dan membimbing terjadinya peristiwa-peristiwa hidup. Allah ikut campur tangan dalam sejarah bangsa Israel, khususnya, dan sejarah manusia, umumnya. Allah dalam hal ini “turut andil” mengirim Yusuf ke Mesir guna memelihara mereka terhadap kehancuran Gagasan ketiga ini dapat ditemukan juga dalam Kitab Ayub yang memandang penderitaan sebagai ujian atas iman bdk. Ayub 19-12.20 Ujian hidup yang dialami Ayub sangat berat, dari kehilangan ternak dan anak-anaknya serta menderita penyakit kulit mengerikan. Kenyataan buruk yang awalnya sangat berat diterima ini, ternyata mengawali suatu kebaikan dalam hidup Ayub, yakni kematangannya dalam beriman, dan bahkan menjadi awal pengenalan antara Allah dan manusia secara lebih mendalam. Ketika Ayub menderita hebat, dalam keyakinannya bahwa ia memang tidak pernah melakukan kejahatan apa pun yang membuatnya layak dihukum, ia mulai bertanya kepada Allah. Sejak Bab 38-42 epilog, Allah sendiri menampakkan diri dan menyingkapkan diri-Nya. Allah tidak menjelaskan mengapa Ayub menderita, melainkan hanya menunjukkan kepadanya kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, sambil menyadarkan Ayub akan kekecilannya sebagai manusia. Lewat pengalaman penderitaan inilah, Allah memberi Ayub gambaran yang lebih lengkap dan semakin otentik akan diri-Nya meskipun Ia tetaplah misteri, yaitu bahwa Ia bukan semata-mata Allah yang suka membalas dendam atau menghukum manusia berdosa. Pengenalan mendalam akan Allah ini dinyatakan oleh Allah dalam Ayub 427-8, “Ayub hamba-Ku, telah bicara benar mengenai Aku.”21 Melalui penderitaan, bukan hanya manusia menjadi semakin mengenali Allah, melainkan Allah pun semakin mengenali manusia. Allah menyetujui provokasi setan untuk mencobai Ayub dengan penderitaan Ayub 16-12, bukan hanya untuk memperlihatkan kepada setan bahwa Ayub adalah orang yang sungguh tulus, namun juga untuk mengenali bagi diri-Nya sendiri siapakah Ayub itu. Dan ternyata bahwa dia sungguh-sungguh orang yang beriman. Pengenalan yang semakin mendalam antara Ayub dan Allah ini menciptakan persahabatan relasi yang intim di antara keduanya, yang kembali terjalin seperti dulu seperti digambarkan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 293MELINTAS bab 11-5.22 Kedekatan antara Allah dan Ayub yang pertama-tama disebabkan oleh penderitaan, bahkan membuat Allah memulihkan dua kali lipat keadaan Ayub 4210-17. Pengalaman kedua tokoh Perjanjian Lama tersebut Yusuf dan Ayub memuat gagasan bahwa penderitaan atau apa yang semula tampak seperti malapetaka ternyata akan berakhir dengan baik, sesuai kehendak Allah, karena Allah telah mengatur segala sesuatu sedemikian rupa. Dalam hal ini, kehendak bebas manusia diandaikan tetap menentukan. Melalui gagasan yang terakhir ini, pandangan Perjanjian Lama tentang penderitan mulai diperbarui. Ada hal yang lebih bermakna mengenai penderitaan daripada hanya sebagai suatu ganjaran atas dosa, yaitu suatu kebaikan di akhir bagi manusia yang menderita itu sendiri, bahkan bagi semua orang di Penderitaan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Makna penderitaan manusia yang terkandung dalam keseluruhan Kitab Suci mencapai puncaknya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, yaitu dalam diri Kristus, melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya yang luhur. Dua di antara empat konsep Perjanjian Baru memiliki persamaan dengan apa yang sebelumnya telah diuraikan dalam Perjanjian Lama. Kendati serupa, sebagai suatu bagian yang berbeda, keduanya memiliki ciri khas atau penekanan masing-masing yang membedakan pandangannya satu dari yang lain. Kehadiran Yesus dalam Perjanjian Baru merestorasi pandangan mengenai penderitaan dalam Perjanjian Lama, terutama gagasan konservatif bahwa penderitaan merupakan hukuman atas dosa manusia. Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan jawaban diplomatis dan lebih realistis atas kenyataan penderitaan dengan keterkaitannya pada unsur rencana ilahi, “…pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia” Yoh. 92-3. Yesus menolak pandangan bahwa setiap penderitaan disebabkan oleh dosa orang yang menderita itu sendiri atau karena dosa nenek moyangnya. Misalnya, Luk. 132, tentang “dosa dan penderitaan”, yakni ketika Yesus menegaskan bahwa nasib buruk yang dialami sejumlah orang bukanlah karena dosanya yang lebih besar daripada orang-orang lain. Karena penderitaan bukan disebabkan semata-mata oleh dosa, saya akan menguraikan keempat gagasan lain agar penderitaan dapat dialami sebagai sesuatu yang lebih dalam Perjanjian Baru penderitaan dipandang sebagai partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus. Unsur partisipatif ini berdasar pada 294solidaritas Allah yang rela menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus dan yang rela menanggung penderitaan bersama manusia. Gagasan pertama ini bertolak dari 1Yoh. 419 yang berbunyi, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Jadi, partisipasi manusia dalam penderitaan Kristus bukan pertama-tama karena manusia mengasihi Allah, melainkan karena Allah yang lebih dahulu mengasihi manusia dengan solidaritas-Nya dan menjelma sebagai manusia kenosis.23 Sebagai manusia, Ia mengalami penderitaan bersama manusia lainnya. Penderitaan Yesus merupakan cara-Nya menarik manusia kepada Allah. Pandangan semacam ini sudah muncul dalam Jemaat Kristen Purba setelah peristiwa Yesus naik ke surga yang memandang penderitaan sebagai kesempatan untuk mengambil bagian atau berpartisipasi dalam kemuliaan Kristus misalnya, 1Petrus 220. Jadi, Yesus menyodorkan pemahaman baru. Ia tidak menjelaskan penyebab penderitaan dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Ia justru menempatkan penderitaan dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian dari hidup-Nya. Gagasan pertama ini juga dapat ditemukan dalam pengalaman Paulus, misalnya, dalam 1Kor. 410-13, 2Kor. 48-11, dan 1123-29. Ada berbagai penderitaan dan tekanan yang dihadapinya, seperti diabaikan, haus dan kelaparan, kurang tidur, disiksa, direndahkan, kedinginan dan kepanasan, dan sebagainya. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, ia merenungkan bahwa “kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami” 2Kor 411.24 Penderitaan sebagai aspek partisipatif dapat ditemukan pula dalam surat-surat Paulus, yaitu Galatia 219-20, “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” dan Filipi 310-11, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia…” Orang beriman diberi kekuatan untuk menanggung penderitaannya berdasarkan kesadaran bahwa Kristus pun mengalami hal yang serupa dan berhasil menang atas penderitaan tersebut. Kedua, penderitaan dimaknai sama seperti konsep Perjanjian Lama di atas, yaitu sebagai suatu pengorbanan untuk orang lain dan untuk kebenaran. Seperti para nabi Perjanjian Lama, Yesus juga menderita karena menjalankan misi Allah Bapa-Nya Luk. 2426, 46; Kis. 318 dan sama Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 295MELINTAS Yusuf, Ia juga harus mengalami penderitaan demi penyelamatan manusia. Dalam Yoh. 1513, Yesus memaknai penderitaan-Nya sebagai perwujudan kasih yang terbesar bagi manusia yang disebut-Nya sebagai sahabat’. Dengan kata lain, kasih selalu berarti pengorbanan atau kerelaan menderita bagi orang lain. Dalam gagasan kedua ini, penderitaan Yesus dimaknai sebagai penebusan’ redemption, yaitu pengorbanan Allah untuk membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan kejahatan Kol. 113-14 serta menyucikan manusia dari kesalahannya 1Kor. 611, Ef. 525-26, Ibr. 2 17-18.25 Secara luas, penderitaan dalam konsep pengorbanan ini tidak hanya merujuk pada sesama manusia, melainkan juga sebagai konsekuensi dari keteguhan membela iman atau karena kesetiaan mempertahankan kebenaran. Manusia bisa mengalami penderitaan sebagai seorang martir akibat penganiayaan karena iman yang dimilikinya atau karena membela kebenaran alkitabiah 2Timotius 312. G. W. H. Lampe memandang aspek kemartiran semacam ini sebagai salah satu metode dan model paling efektif untuk evangelisasi. Mengacu pada zaman Kekaisaran Romawi, terjadi banyak eksekusi mati di hadapan publik terhadap orang-orang Kristiani. Lampe melihat penderitaan para pengikut Kristus itu sebagai suatu kesempatan untuk mempropagandakan iman atau memberikan kesaksian tentang Kemartiran Stefanus Kisah Para Rasul 6-8. misalnya, ditafsirkan oleh John Foxe sebagai benih pertobatan Saulus Saulus turut andil dan hadir menyaksikan pembunuhan Stefanus, lih. Kis. 758; 83; 2220.27 Pertobatan radikal Saulus baru terjadi ketika ia mengalami pengalaman rohani dalam perjalanannya menuju Damaskus Kis. 94-9, namun kemartiran penderitaan Stefanus dianggap sebagai awal pengenalan Paulus akan Kekristenan sejati. Ketiga, penderitaan dipandang sebagai awal atau permulaan kemuliaan manusia. Gagasan ini juga serupa dengan gagasan ketiga yang diuraikan dari Perjanjian Lama. Meskipun adalah misteri, penderitaan memiliki makna. Tujuan utamanya adalah supaya terbentuk sifat-sifat seperti Kristus dalam diri seseorang Roma 828-29. Dengan kata lain, penderitaan dipandang sebagai satu proses menjawab panggilan hidup menuju kesempurnaan Mat. 548. Sebagai suatu proses, penemuan makna atau hikmah dari suatu pengalaman penderitaan memerlukan waktu dan menuntut kesabaran. J. S. Feinberg mendukung gagasan ini dengan mengatakan bahwa Allah menggunakan penderitaan untuk mendahului proses pemuliaan bagi orang 296beriman, contohnya, Filipi 25-11 dan 1Petrus 3 Penderitaan para pengikut Kristus dipandang hanya berlangsung sesaat 1 Ptr. 16, 510 dan akan segera digantikan oleh kemuliaan abadi yang tak terkatakan Rm. 818, 2 Kor. 417. Morna D. Hooker menemukan gagasan seperti ini dengan mengacu pada Roma 51-5 dan Filipi 3. Bagi Hooker, penderitaan menuntun manusia menuju suatu kemuliaan, yakni hidup di dalam Untuk membuat manusia layak menerima kemuliaan itu, penderitaan memiliki peran penting lainnya. Penderitaan dapat memurnikan Yak. 13, 12, 1Ptr. 17 atau menuntun manusia menuju pertobatan serta berguna pula sebagai sebagai pendidik manusia dalam keutamaan-keutamaan Kristiani, terutama perihal ketahanan endurance dan ketekunan perseverance. Gagasan ini dapat ditemukan misalnya dalam Roma 53-4, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan”, atau dalam Yakobus 13-4, “Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun”.30 Dengan demikian, penderitaan yang awalnya tampak sebagai hal mengerikan dan ditolak, ternyata membawa hasil akhir yang baik. Hasil ini dapat dipetik sejak masih hidup di dunia yaitu berupa pembelajaran hidup yang mendewasakan manusia, maupun kelak sesudah kematian yaitu kemuliaan di surga. Gagasan ketiga ini menyingkapkan dimensi eskatologis penderitaan penderitaan dipandang sebagai kesempatan manusia mengenali Allah sebagai kasih dan membuktikan kesetiaan kepada-Nya. Leon Morris mengemukakan gagasan ini dengan mengacu pada Roma 53-5. Bagi Morris, perikop tersebut merupakan suatu rangkaian pikiran yang langsung menuju pada kasih Allah. Penderitaan bukanlah bukti bahwa Allah tidak mengasihi kita, melainkan justru bahwa Allah mengasihi kita. Allah yang Mahakasih itu dimaknainya juga sebagai Allah yang adil. Paulus bisa berbicara tentang ketabahan orang-orang Tesalonika di tengah pengejaran dan kesukaran sebagai bukti adilnya penghakiman Allah 2Tesalonika 14-5. Morris memandang penderitaan dalam perspektif Paulus, sebagai bagian dari kasih Allah kepada manusia untuk menjadikan manusia sebaik Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 297MELINTAS Dalam gagasan keempat ini, penderitaan menjadi sarana pewahyuan Allah yang transenden. Ia mewahyukan bahwa diri-Nya adalah yang Mahakasih. Groenen menekankan gagasan ini terutama berdasarkan telaahnya atas Injil Markus, “penderitaan sebagai penyataan Anak Allah”.32 Darmawijaya juga menjelaskan penderitaan dalam kerangka Injil Markus, sebagai penyataan Anak Allah atau sebagai perwahyuan Mesias yang harus menderita Mrk. 831, 931, 1033. Melalui penderitaan dan wafat Yesus di salib, tersingkaplah misteri siapa diri-Nya, yaitu raja yang berkuasa, Anak Manusia, hakim paripurna lih. Mrk. 1539, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!”.33 Dengan demikian, gagasan keempat ini membantu orang-orang yang menderita memaknai penderitaannya sebagai sarana mengenali Allah dengan lebih mendalam, yakni sebagai Allah yang Teologis terhadap PenderitaanDalam bagian ini, penderitaan ditelaah berdasarkan sudut pandang ketiga cabang teologi kristiani, yaitu soteriologi, eklesiologi, dan eskatologi. Secara sederhana, teologi keselamatan soteriologi memandang penderitaan sebagai jalan penyelamatan manusia, sebagai via dolorosa sebagaimana dialami Yesus Kristus sendiri. Leonardo Boff, misalnya, mengajukan suatu pandangan soteriologis atas penderitaan dengan mengatakan bahwa penderitaan dan penyaliban yang dialami Yesus bermakna soteriologis karena menunjuk pada Allah yang merengkuh salib itu demi solidaritas dengan semua orang yang menderita di dalam sejarah. Allah menerima salib itu di dalam Yesus bukan untuk mengekalkannya dan menyingkirkan pengharapan manusia, namun demi mengakhiri semua salib di dalam Menurut keyakinan kristiani, tidak ada orang yang dapat memperoleh keselamatan hanya melalui usaha mereka sendiri, baik itu dengan ritus-ritus, perbuatan baik, persembahan, meditasi, atau cara-cara lainnya. Pengorbanan Yesus di salib menyempurnakan keselamatan yang diusahakan Boff mengajak manusia menemukan aspek penyelamatan atas penderitaannya dengan bertolak dari penderitaan Kristus sendiri. Dengan kata lain, dalam konteks soteriologi, penderitaan dipandang sebagai salib’ yang harus dipikul atau sebagai suatu realitas yang harus dialami agar manusia memperoleh keselamatan. Keyakinan serupa diungkapkan Edward Schillebeeckx “Salvation can also be achieved in suffering and in an unjust execution.”36 Bagi Schillebeeckx, keselamatan juga dapat diraih melalui jalan penderitaan. 298Teologi Gereja eklesiologi memandang penderitaan seolah-olah sebagai “duri dalam daging” atau masalah dalam komunitas gerejawi yang mesti diselesaikan untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Maka, dalam konteks ini, digunakan “eklesiologi pembebasan” yang memfokuskan kajiannya pada konteks kemiskinan dan ketidakadilan yang menyebabkan penderitaan manusia. Eklesiologi pembebasan merupakan eklesiologi kritis yang mempertanyakan terutama kondisi sosial-kultural kehidupan Penderitaan dalam dimensi eklesiologis ditempatkan sebagai locus theologicus dalam artian sebagai tempat kehadiran Allah dimanifestasikan; penderitaan dipandang sebagai ranah berteologi. Ciri eklesiologi pembebasan adalah mengundang partisipasi umat beriman untuk pembaruan struktur Gereja. Gereja yang menjajah dan menjarah orang miskin diubah menjadi Gereja dari, oleh, dan untuk orang miskin. Teologi eklesiologi pembebasan menjadi salah satu alternatif yang cukup memadai untuk mendekati problem penderitaan karena mengupayakan suatu perubahan struktural atau sistematik dalam masyarakat tertentu. Teologi pembebasan berikhtiar menemukan jawaban atas penderitaan manusia dalam arti luas, dengan menyentuh berbagai ranah sosial kemasyarakatan, bukan hanya dengan pendekatan personal antarpribadi. Dari refl eksi teologis diharapkan ada koreksi-koreksi atas kesalahan-kesalahan yang mungkin ada, contohnya, aspek hidup Kristen yang dilupakan karena orang terlalu tergesa-gesa mengambil tindakan politik. Inilah yang dimaksud oleh teologi pembebasan sebagai refl eksi Bagi Gustavo Gutiérrez, jawaban atas problem penderitaan adalah jalan pembebasan’ yang harus terjadi dalam tiga aspek strategis. Baginya, ketiga aspek ini berdaya melenyapkan penderitaan sampai ke akarnya, yaitu 1 pembebasan ekonomi, sosial, dan politik, 2 pembebasan manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang baru 3 pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan Allah dan semua Teologi Hal-Hal Akhir eskatologi, penderitaan dapat ditelaah dalam korelasinya dengan dimensi eklesiologis yang dijelaskan di atas. Korelasi di antara keduanya tampak dalam kontinuitas antara nilai-nilai eklesiologis, seperti martabat manusia, persaudaraan, dan pembebasan dari penderitaan yang harus direalisasikan dalam sejarah dan pemenuhan eskatologis, yakni dalam Kerajaan Akhir. Dunia dipandang sebagai wahana penghayatan nilai-nilai, sementara pengharapan eskatologis akan Kerajaan Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 299MELINTAS adalah motif untuk mencari keadilan, perdamaian, atau pembebasan’ atas penderitaan dunia Pentingnya korelasi antara eklesiologi dan eskatologi, misalnya, ditunjukkan oleh Wolfhart Pannenberg. Menurutnya, Gereja akan kehilangan dimensi sosial jika melakukan penyimpangan dari karakternya sebagai sebuah komunitas Jurgen Moltmann juga menafsirkan misi Gereja sebagai hamba atau pelayan dalam rangka pengertian eskatologis. Gereja harus mengangkat masyarakat setempat menuju horizon pengharapannya sendiri akan pemenuhan eskatologis atas keadilan, kehidupan, kemanusiaan, dan keramahan. Setiap orang Kristen diikutsertakan dalam kerasulan untuk memberikan harapan bagi dunia yang menderita, dan di sanalah Gereja menemukan esensinya yang menjadikannya Gereja Allah. Moltmann memandang bahwa Gereja sendiri bukanlah keselamatan dunia, sehingga penggerejaan dunia belum berarti keselamatan terakhir, tetapi ia melayani keselamatan yang akan datang bagi Moltmann memandang penderitaan secara eskatologis sebagai pangkal dari harapan akan kebangkitan. Pertama-tama, penderitaan manusia menimbulkan iman akan Yesus Kristus yang juga menderita sebagai wujud keterlibatan Allah dalam sejarah penderitaan manusia; selanjutnya penderitaan yang sama juga menumbuhkan iman akan kebangkitan-Nya. Kebangkitan Kristus memberikan harapan akan kebangkitan manusia. Gereja bertugas memperkenalkan nilai-nilai Kerajan Allah kepada segenap masyarakat di dunia sekarang ini. Hubungan senada diungkapkan oleh Karl Rahner yang berpendapat bahwa apa yang kita ketahui tentang eskatologi Kristiani itu kita ketahui mengenai situasi manusia sekarang dalam sejarah keselamatan. Melalui penderitaan, wafat, dan kebangkitan Kristus segala sesuatu telah selesai. Eskaton tidak lagi membawa sesuatu yang baru, melainkan hanyalah menyingkapkan keselamatan yang kini sudah ada secara tersembunyi. Rahner menekankan bahwa hasil kemenangan eskatologis Kristus ialah rahmat yang effi cax berhasil, tidak hanya cukup’ dan rahmat ini bukan saja mungkin diberikan, melainkan de facto telah Menurut Rahner, “Gereja ialah suatu jemaat yang sedang berziarah menuju kebahagiaan kekal”.44 Hans Küng juga mendukung korelasi ini dengan mengatakan bahwa umat Allah akan benar-benar menjadi umat Allah ketika dikumpulkan dalam perjamuan surgawi. Gereja di dunia adalah suatu antisipasi Gereja Melalui penjelasan para teolog terkait korelasi antara dimensi eskatologis dan dimensi eklesiologis, dapat dipahami bahwa penderitaan 300secara eskatologis dilihat sebagai sarana mengalami awal hidup abadi, atau yang dalam bahasa Küng adalah awal memasuki “rumah cahaya”.46Allah sebagai “Bapa Mahakasih” suatu Konsep yang Meneguhkan47Di atas telah dipaparkan konsep penderitaan dalam Kitab Suci dan pandangan para teolog. Telaah atas penderitaan menjadi makin inspiratif dan berdaya guna jika umat beriman memperoleh alternatif atau cara lain untuk bertahan dalam iman akan Allah yang Mahabaik, ketika ditimpa penderitaan bertubi-tubi. Gambaran “bapa” menjadi salah satu analogi yang dapat membantu orang agar tetap tegar dan beriman menghadapi penderitaannya. Allah yang adalah “Bapa” membuat penderitaan dapat dimengerti sebagai hukuman’, namun yang bertujuan baik. Penderitaan dianalogi sebagai suatu hukuman dari seorang bapa kepada anaknya agar ia bertumbuh dewasa, menjadi lebih disiplin, tahan banting, dan bertumbuh dalam berbagai keutamaan hidup. Istilah hukuman’ di sini dapat dimengerti lebih sebagai “bentuk pembiaran” Allah. Dalam bahasan mengenai Perjanjian Lama, penderitaan Ayub berasal dari iblis, bukan dari Allah sendiri. Allah hanya mengizinkan iblis untuk mencobai manusia. Allah menghukum dalam arti mengizinkan atau membiarkan penderitaan terjadi atas manusia dan sama sekali tidak berperan secara aktif memberikan’ penderitaan tersebut, sebab bagaimanapun Allah adalah Kasih. Analogi Allah sebagai bapa yang menghukum manusia, anaknya, penting dipaparkan untuk membuat penderitaan lebih mudah dipahami dan diterima. Küng memahami bahwa Yesus sendiri tidak menjawab problem kejahatan, ketidakadilan, kelemahan, dan penderitaan dalam dunia, dengan memberikan pandangan fi losofi s atau pembenaran teologis. Jawaban yang diberikan Yesus berorientasi kepada Allah sebagai Hanya Allah sebagai seorang Bapalah dapat memahami segala yang dibutuhkan manusia sebelum manusia memintanya, dan mampu membuat kekhawatiran, ketidakadilan, dan kecenderungan berdosa dalam diri manusia pudar. Allah yang dipandang sebagai Bapa juga dapat memampukan manusia memaknai penderitaan dan Penolakan terhadap konsep Allah sebagai penghukum aktif juga diutarakan oleh Karl Rahner “Tuhan mengizinkan, bukan memberikan penderitaan.” Rahner menggagas penger tian ini berdasarkan pemahamannya akan Allah sebagai Bapa dan manusia sebagai anak-anak-Nya. Allah yang dipahaminya sebagai Bapa hanya’ mengizinkan penderitaan terjadi atas Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 301MELINTAS dan tidak memberikannya kepada manusia. Ia justru menerangi suramnya penderitaan, yang digambarkan Rahner bagaikan kegelapan neraka, dan bahkan menemani manusia berada di dalamnya. Kehadiran dan kebersamaan-Nya memungkinkan Allah menjadi Allah, yaitu sebagai seorang Bapa yang tidak pernah meninggalkan manusia yang menderita. Karena senantiasa disertai-Nya, manusia tidak perlu mempersalahkan Allah atas penderitaan yang dialami, melainkan harus bersyukur karena Allah tetap bersamanya menjalani situasi Relasi antara manusia sebagai anak dan Allah sebagai seorang Bapa digambarkan secara jelas dalam doa yang diutarakan oleh Henry Nouwen “Sedikit demi sedikit aku menyadari bahwa aku ingin Kau lihat, ingin diam di bawah tatapan-Mu yang penuh kasih, dan ingin tumbuh menjadi kuat dan lembut di mata-Mu.”51 Analogi Allah sebagai Bapa atau bapak’ dalam sapaan sehari-hari, membantu manusia menerjemahkan penderitaannya sebagai hal yang mendidik, mendewasakan, dan membawa berbagai manfaat lain baginya. Seorang bapak yang baik tidak selalu menggendong atau menuntun anaknya, namun ada kalanya membiarkan anak itu berjalan sendiri meskipun harus menderita karena terjatuh berulang kali. Melalui cara ini, anak menjadi pribadi yang berdaya juang dan mandiri. Gagasan senada diungkapkan pula dalam dokumen Salvifi ci Doloris dari Paus Yohanes Paulus II 1984 dengan mengutip 2Mak. 612, “…hukuman-hukuman ini tidak bermaksud untuk membinasakan bangsa kita, tapi untuk memperbaikinya.”52 Kutipan ayat Kitab Suci ini mau menegaskan manfaat atau hikmah di balik penderitaan. Penderitaan yang dialami manusia terjadi seizin Allah, yang diimani manusia sebagai seorang Bapa. Seorang Bapa mengetahui apa yang dibutuhkan anaknya bahkan sebelum diminta dan tidak akan memberikan apa yang sebaliknya. Dalam konteks relasi Bapa dan anak, hukuman yang dipahami sebagai pembiaran Allah dimengerti bukan untuk membinasakan, melainkan untuk memperbaiki. Perbaikan dari hal-hal yang kurang benar, merupakan kebutuhan seorang anak agar menjadi lebih matang dan berdaya juang dalam kehidupan. “Jika seorang anak minta roti kepada ayahnya, apakah ia akan diberi batu? Jika ia minta ikan, apakah ia akan diberi ular berbisa? Tentu saja tidak! Dan jika kalian yang keras hati dan berdosa tahu bagaimana memberikan yang baik kepada anak-anak kalian, apalagi Bapa yang di surga. Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” Mat. 79-11. 302Alasan edukatif ini mungkin dapat dipahami sebagai salah satu maksud Allah membiarkan manusia mengalami berbagai penderitaan semasa hidupnya. Dengan memahami dan menghayati kebenaran iman ini, tak ada alasan bagi manusia untuk goyah ketika Penderitaan merupakan suatu realitas yang tak terelakkan dan terus menerus menghantui hidup manusia. Kenyataan ini digambarkan oleh Yeremia dengan suatu pertanyaan retoris, “Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?” Yer. 158 Sebagai bagian integral kehidupan, penderitaan seharusnya diterima dengan berani. Umat beriman mesti mengusahakan jalan untuk berdamai dengannya. Melalui pendekatan biblis dan teologis yang ditawarkan di atas, penderitaan yang tak terhindarkan menjadi sesuatu yang berharga untuk dijalani. Beberapa pokok dapat dirumuskan sebagai penderitaan dilihat secara lebih utuh, yakni dengan sudut pandang biblis dan teologis. Sebelum didekati dengan kedua perspektif ini, penderitaan hampir selalu berakhir dengan penjelasan sebagai sekadar misteri’ atau hukuman’. Kedua penjelasan ini terlalu simplistis. Bahasan dari sudut pandang biblis-teologis yang ditawarkan di atas memungkinkan realitas penderitaan memperoleh pemaknaan baru. Dengan memandang penderitaan secara baru, muncullah pengharapan akan perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satu pandangan itu adalah penderitaan dipandang sebagai suatu proses atau perjalanan hidup menuju penyempurnaan. Manusia diajak untuk melihat realitas penderitaan dari sudut pandang Allah. Allah yang Mahabaik menghendaki kebaikan bagi setiap manusia di balik setiap bentuk penderitaan yang diizinkan-Nya. Di akhir proses kehidupan yang memuat penderitaan sebagai salah satu bagiannya, Allah menanti dengan sabar. Penderitaan hanya bersifat sementara, atau seperti kata Paulus, “kematian tak lagi berdaya sengat”; habis gelap akan terbit terang. Manusia disadarkan bahwa ia tidak pernah sendirian dalam menghadapi penderitaan. Penderitaan menyakitkan dan menimbulkan luka. Meskipun demikian, selalu ada sesama yang mendampingi, bahkan Allah sendiri, yang adalah “Bapa”, hadir dan selalu mengulurkan tangan. Dengan kesadaran ini, penderitaan menjadi realitas yang dapat dihadapi dengan suka rela, bahkan dapat diterima dengan penuh Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 303MELINTAS secara spesifi k melalui pendekatan biblis Kitab Suci, seorang Kristen disadarkan bahwa penderitaan merupakan suatu anugerah dari Allah yang Mahabaik. Penderitaan adalah anugerah karena berpotensi mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri maupun sesama. Kebaikan-kebaikan itu ditemukan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, penderitaan dimaknai dalam tiga gagasan 1 hukuman atas dosa,53 2 pengorbanan demi sesama dan iman akan Allah,54 3 pembuka jalan atau awal kebaikan, sebagaimana dialami oleh Yusuf dan Ayub. Sementara itu, dalam Perjanjian Baru, penderitaan dimaknai dalam empat gagasan 1 partisipasi dalam penderitaan Kristus misalnya 2Kor. 4 11. 2 pengorbanan untuk sesama dan kebenaran, sebagaimana diteladankan oleh Yesus demi keselamatan manusia, 3 kesempatan meraih kesempurnaan, “orang harus mengalami ujian hidup supaya menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun” Yak. 13-4. 4 sarana mengenali Allah sebagai Kasih. Penderitaan Yesus menyingkapkan besarnya kasih Allah bagi manusia Yoh. 1513. Pendekatan biblis dalam tulisan ini memberikan penerangan kepada umat beriman yang menderita bahwa penderitaan juga mengandung unsur kebaikan. Oleh sebab itu, penderitaan semestinya diterima sebagai anugerah. Para rasul mengajarkan bahwa penderitaan dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan Rm. 828 agar orang Kristen semakin dewasa dan teruji dalam melalui pendekatan teologis, ditunjukkan alternatif-alternatif menghadapi penderitaan. Ketiga dimensi yang dipaparkan dalam pendekatan teologis ini, yakni eklesiologi, eskatologi, dan soteriologi, mengarah pada Yesus yang menderita, wafat, dan bangkit. Dalam dimensi eklesiologis, ditawarkan dua inspirasi untuk menyikapi penderitaan. 1 Penderitaan dipandang sebagai sarana pembebasan melalui penebusan Kristus. Pembebasan dianugerahkan oleh Kristus yang mengadakan dan mengasuh “misteri keselamatan”, yaitu Gereja 2 sarana pemersatu umat manusia. Penderitaan mengundang manusia untuk berempati satu sama lain lintassuku, agama, dan golongan. Dalam berbagai bencana, misalnya, kebanyakan orang bersatu untuk mengangkat penderitaan sesamanya. Dalam dimensi eskatologis, penderitaan dipandang sebagai 1 sarana mencicipi hidup abadi, yakni sebuah “awal memasuki rumah cahaya” dan 2 undangan Allah untuk semakin dekat pada-Nya. Pendekatan ini berguna untuk orang-orang yang menderita sekaligus juga bagi para pendamping keluarga atau 304dokter dan perawat. Dalam dimensi soteriologis, penderitaan dipandang sebagai sesuatu yang harus dialami untuk memperoleh keselamatan, ibarat “salib yang harus dipikul” untuk mencapai Paskah mulia. Melalui ketiga dimensi dalam pendekatan teologis ini, orang beriman dapat menemukan pertanggungjawaban iman dalam menghadapi problem penderitaan, yaitu melalui pengalaman Yesus Kristus. Mengaitkan penderitaan manusia dengan penderitaan Yesus memberi pengharapan akan suatu kemuliaan kebangkitan’ di masa depan. Upaya mengorelasikan keduanya membuat penderitaan menjadi bermakna dan para penderita memperoleh daya kekuatan untuk menanggungnya sebagai sesuatu yang berharga. Penderitaan tidak lagi dipandang sebagai beban kehidupan, melainkan bagian integral kehidupan. Perbedaannya di sini ada pada disposisi batin, yakni ketika manusia mampu menemukan makna penderitaannya dalam kerangka kehendak Allah. Jawaban yang memuaskan atas makna penderitaan di dunia mungkin tidak dapat ditemukan seutuhnya, karena manusia hanya mampu menilai dunia dari sudut pandangnya yang terbatas. Alam pikiran manusia tak dapat menjangkau rahasia rencana Allah. Diperlukan permenungan mendalam untuk menemukan kenyataan bahwa “Allah adalah Kasih” dan “manusia adalah pribadi yang dikasihi”, dan keduanya termasuk di dalam realitas penderitaan. Allah beserta rencana-Nya merupakan misteri yang tidak dapat dipahami manusia. Perenungan seputar problem penderitaan tidak akan berakhir pada jawaban yang jelas. Dialog teologis dan spiritual masih bisa dieksplorasi lebih lanjut untuk membantu umat Kristen yang mengalami penderitaan. Mungkin setiap zaman selalu membutuhkan jawaban dan pendekatan yang berbeda. Penderitaan menimbulkan harapan bagi orang beriman, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar daripada penderitaan kami” 2Kor. 417.ReferencesBergant, Dianne. dan Robert J. Karris Ed.. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta Kanisius. Leonardo. Passion of Christ, Passion of the World The Facts, Their Interpretation, and Their Meaning Yesterday and Today. Maryknoll, NY Orbis Books. 1984. Elvin Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 305MELINTAS Raymond E., et. al. Eds... The Jerome Biblical Commentary. New Jersey Prentice Hall. Brian. Rangkaian Kisah Bermakna. Jakarta Obor. Pierre T. The Phenomenon of Man. London Collins. Amy. Battle Hymn of the Tiger Mother. New York The Penguin Press. Gerald O’ dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta Kanisius. John J. Makabe I dan II. Yogyakarta Kanisius. St. Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus. Yogyakarta Kanisius. Nico S. Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta Kanisius. Avery. Model-model Gereja. Ende Nusa Indah. Walter A. Ed.. Evangelical Dictionary of Theology. Michigan Baker Book House. J. Foxes Book of Martyrs. Jakarta Andi. R. The Liberation Theology Debate. Maryknoll Orbis Books. C. Pengantar ke dalam Per janjian Lama. Yogyakarta Kanisius. Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus. Ende Nusa Indah. Gustavo. A Theology of Liberation History, Politics and Salvation. Maryknoll, NY Orbis Books. William. and Brian Mc Neil Ed.. Suffering and Martyrdom in the New Testament. Cambridge Cambridge University Press. Senin, 10 November Hans. Does God Exist?. London Collins. Eternal Life. London SCM Press. C. M. Kesaksian Santo Paulus. Yogyakarta Kanisius. Jurgen. Theology of Hope. London SCM Press. Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang Yayasan Penerbit Gandum Mas. Henry The Road to Daybreak A Spiritual Journey. New York Doubleday. Pius. Ex Latina Claritas. Jakarta Obor. H. “Mengapa Orang Benar Menderita?” Wacana Biblika Vol. 14, 306No. 2, April-Juni W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta PN. Balai Pustaka. 1982. Rahner, K. Theological Investigations XIX. New York Crossroad. Leonard, Richard. “Where the Hell is God?” Thinking Faith The Online Journal of the British Jesuits F. Suryanto Hadi terj., dalam Rohani, Nomor 02, Tahun ke-59, Februari E. Church The Human Story of God. New York Crossroad. Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez. Yogyakarta Jendela. Simon P. L. Petualangan Intelektual Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta Kanisius. Wim van der. Seni Hidup. Yogyakarta Kanisius. N. M. An Introduction to Teilhard de Chardin. Fontana Library Theology and Philosophy. Paulus II, Paus Terj. R. Hadiwikarta. Salvifi ci Doloris. Jakarta Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta PN. Balai Pustaka, 1982 245. 2 Pius Pandor, Ex Latina Claritas Jakarta Obor, 2010 Bdk. Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual; Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern Yogyakarta Kanisius, 2004 Ratusan warga miskin di Riau misalnya, mengalami penderitaan karena anggaran kesehatan dan pendidikan yang dialokasikan bagi mereka diakali oleh pejabat setempat. Lih. “Ang garan Daerah sering Diakali” dalam Kompas Senin, 10 November 2014 1 dan Bdk. N. M. Wildiers, An Introduction to Teilhard de Chardin Fontana Library Theology and Philosophy, 1975 Seorang ibu di China yang teguh memegang nilai-nilai tradisi China menceritakan hal ini dengan blak-blakan.. Beberapa hal yang ditekankannya antara lain, 1 anak harus menjadi juara 1 di sekolah, 2 anak harus pintar bermain musik; kalau perlu dengan berlatih amat keras setiap hari, bahkan di hari libur dan saat berlibur sekalipun, 3 alat musiknya harus yang sulit dimainkan, yaitu piano atau biola—tidak boleh yang lain. Lih. Amy Chua, Battle Hymn of the Tiger Mother New York The Penguin Press, 2011.7 Lih. Alan McGinnis, “Bakat-bakat Terpendam” dalam Brian Cavanaugh, Rangkaian Kisah Bermakna Jakata Obor, 1995 Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani 307MELINTAS Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man London Collins, 1959 Wim van der Weiden, Seni Hidup Yog yakarta Kanisius, 1995 Richard Leonard, “Where the Hell is God?” dalam Thinking Faith The Online Journal of the British Jesuits F. Suryanto Hadi terj., dalam Rohani, No. 02, Tahun ke-59 Februari 2012 35. 11 Ibid., Bdk. H. Pidyarto, “Mengapa Orang Benar Menderita?” dalam Wacana Biblika Vol. 14, No. 2, April-Juni 2014 52-54. 13 Ketiga sahabat Ayub yang datang untuk menghiburnya bernama Elifas, Zofar, dan Bildad. Ketiganya menganggap penderitaan Ayub sebagai hukuman atas dosa-dosanya. Lih. perkataan Elifas dalam Kitab Ayub Bab 4, 15, 22; perkataan Zofar dalam Bab 11, 20; dan pernyataan Bildad dalam Bab 8, 18, dan 25. Bdk. Silogisme argumentasi ketiganya dalam Wim van der Weiden, op. cit., C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Lama Yogyakarta Kanisius, 1980 Dianne Berg ant dan Robert J. Karris Ed., Tafsir Alkitab Perjanjian Lama Yogyakarta Kanisius, 2002 Collins mendasarkan gagasan ini dalam upacara yang dikenal sebagai “pelepasan kambing” dalam Kitab Imamat Bab 16. Dalam upacara itu, Harun mengakukan dosa-dosa orang Israel atas seekor kambing dan kemudian kambing itu dilepaskan ke padang gurun dengan membawa dosa-dosa mereka. Bdk. John J. Collins, Makabe I dan II Yogyakarta Kanisius, 1990 Bergant dan Karris Ed., op. cit., Ibid., Michael D. Guinan misalnya, menafsirkan Ayub 3615 yang berbunyi “dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka”, sebagai suatu aspek ujian iman yang berfungsi untuk mendidik dan mengajar manusia. Lih. ibid., Ibid., Bdk. ibid., 426-427, dalam subjudul “Misteri Penderitaan dan Hubungan dengan Allah”.23 Solidaritas Allah ini digambarkan secara lengkap oleh Paulus dalam Filipi 26-8, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri… merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Dimensi solidaritas inilah yang mendorong dan memungkinkan manusia berpartisipasi dalam penderitaan Kristus, atau dengan kata lain menyatukan penderitaan hidupnya dengan penderitaan Kardinal C. M. Martini mengidentifi kasi seluruh penderitaan Paulus ini sebagai yang serupa dengan penderitaan Yesus. Lih. Martini, Kesaksian Santo Paulus Yogyakarta Kanisius, 1989 Bdk. defi nisi Penebusan’ dalam Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi Yogyakarta Kanisius, 1996 G. W. H. Lampe, “Martyrdom and Inspiration” dalam William Horbury and Brian Mc Neil Ed., Suffering and Martyrdom in the New Testament Cambridge Cambridge University Press, 1981 John Foxe, Foxes Book of Martyrs Jakarta Andi, 2001 Lih. defi nisi terminologi Pain’ oleh J. S. Feinberg dalam Walter A. Elwell Ed., Evangelical Dictionary of Theology Michigan Baker Book House, 1980 815. 30829 Lih. Morna D. Hooker, “Interchange and Suffering” dalam William Horbury and Brian Mc Neil Ed., op. cit., Elwell Ed., Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru Malang Yayasan Penerbit Gandum Mas, 1996 C. Groenen, Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus Ende Nusa Indah, 1983 St. Darmawijaya, Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus Yogyakarta Kanisius, 1991 Leonardo Boff, Passion of Christ, Passion of the World The Facts, Their Interpretation, And Their Meaning Yesterday and Today Maryknoll, NY Orbis Books, 1984 114. “Semua salib” di sini berarti semua penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa. Penderitaan dan kematian Yesus di salib merupakan suatu bentuk penebusan yang mampu meniadakan semua penderitaan yang harus ditanggung Bdk. Efesus 28-9, “Karena kasih karunia [kita] diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu jangan ada orang yang memegahkan diri.” 36 Edward Schillebeeckx, Church The Human Story of God New York Crossroad, 1990 Istilah “eklesiologi pembebasan” ini dimunculkan oleh R. Gibellini, Lih. Gibellini, The Liberation Theology Debate Maryknoll Orbis Books, 1987 Suryawasita, Teologi Pembebasan Gustavo Gutiérrez Yogyakarta Jendela, 2001 Lih. Gutiérrez, A Theology of Liberation History, Politics and Salvation Maryknoll, NY Orbis Books, 1973 Bdk. Avery Dulles, Model-model Gereja Ende Nusa Indah, 1990 W. Pannenberg, Theology and the Kingdom of God, 75. Dalam Dulles, ibid., Jurgen Moltmann, Theology of Hope London SCM Press, 1967 Lih. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan Yogyakarta Kanisius, 2004 Dikutip oleh Dulles, op. cit., Ibid., Hans Küng, Eternal Life London SCM Press, 1991 Inspirasi subjudul ini ialah Ensiklik pertama Paus Benediktus XVI, Deus Caritas Est 2005.48 Hans Küng, Does God Exist? London Collins, 1980 Bdk. Bdk. Karl Rahner, Theological Investigations XIX New York Crossroad, 1983 Henri J. M. Nouwen, The Road to Daybreak A Spiritual Journey New York Doubleday, 1988 Yohanes Paulus II Terj R. Hadiwikarta, Salvifi ci Doloris Jakarta Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2011 No. Kej. 314-19, Bil. 12 Yes. 535, 2Mak. Bdk. Yak. 12-4, 1Pet. 17-8, Rm. 5 Atmaja H. Iman di Tengah Penderitaan, Inspirasi Teologis-Biblis Kristiani ... Injil yang adalah kekuatan Allah bagi setiap orang percaya agar setiap orang memperoleh keselamatan. Karena di dalamnya kebenaran Allah dinyatakan dari iman ke iman 12345678910. Injil adalah kekuatan Allah untuk menyelamatkan semua Gloria. ...... Sedangkan urutan ketiga terbanyak penyebab perceraian yakni meninggalkan salah satu pihak. 3 Bila dilihat lebih dekat lagi maka perselisihan yang tidak dapat diselesaikan adalah dipicu oleh media sosial, lalu ekonomi dan selanjutnya adanya pihak ketiga dalam pernikahan. Itu sebabnya angka perceraian semakin meningkat per tahunnya sekitar 15-20%. ...... diakses 24 Mei 2020. 3 Rofiq Hidayat, "Melihat Tren Perceraian dan Dominasi penyebabnya" Hukum Online, 18 Juni 2018, tersedia di diakses tanggal 24 Mei 2020. 4 Adisty Titania, "Hati-Hati, Media Sosial Picu Tingginya Angka Perceraian" TheAsianparent Indonesia, tersedia di Gambaran umum yang terjadi di Indonesia dapat juga menggambarkan permasalahan dalam keluarga Kristen di Indonesia, di mana masalah seks menempati urutan signifikan atas terjadinya konflik dan berujung perceraian di Indonesia. Ini menjadi suatu tantangan bagi gereja untuk memberikan suatu kajian solutif atas masalah seksualitas dalam pernikahan Kristen ... Nova RitongaThe pandemic of Covid-19 which occurred in Indonesia even in the whole world greatly influenced the church in doing mission. Many church mission activities and responsibility cannot be carried out properly, it also effects the spirituality and the life of the congregation the Christians. In this case the church needs to have the right respond over this current Covid-19 pandemic. This article aims to provide the insight, whether the Covid-19 pandemic is or as the obstacle for the church to carry out its mission or otherwise, as an opportunity. This article is written using descriptive qualitative methods with library research. This Covid-19 pandemic can be an obstacle and also can be an opportunity for the church to do mission work. It becomes an obstacle because during the Covid-19 pandemic, the church cannot conduct the worship service and other activities worship service, midweek worship, visitations, and other missionary activities freely, especially the churches in the city. This is also because the responsibility of the church in carrying out the Great Commission is understood limitedly in the form of face-to-face meetings both inside and outside the church. In other hand, the Covid-19 pandemic is an opportunity for the church to carry out the Great Commission mission because with the Covid-19 pandemic the church is bolder and openly preaches the Word of God. Now, many churches carry out online or live streaming worship services which can be watched by anyone, not just Christians cf. Isaiah 5511. The fear and despair that befell the community is also an opportunity for the church to reach out. Keywords Church, Pandemic Covid-19, Mission... Sulit dalam konteks Kristiani menelusuri asal penderitaan di muka bumi, dikarenakan penderitaan merupakan sesuatu yang tidak baik sehingga tidak mungkin berasal dari Allah yang Maha Baik dan yang telah menciptakan segala sesuatu dengan baik adanya. Penderitaan merupakan pergumulan atau problem iman, sebab ada orang yang bisa menerima penderitaan yang dialaminya sehingga menjadi semakin beriman dalam ujian penderitaan, di sisi lain ada orang yang sulit menerima penderitaannya sehingga menganggap Tuhan yang Maha kasih sebagai sebuah konsep tipuan maupun khayalan, dikarenakan dianggap tidak dapat menolong sehingga tidak perlu dipercayai Hidayat, 2016. Jikapenderitaan bukan berasal dari Allah, selanjutnya muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan dialami oleh orang-orang percaya dan apakah Tuhan senang melihat umat-Nya menderita. ...Djone Georges NicolasPenelitian ini bertujuan menganalisa tulisan Yeremia 2911 tentang penderitaan, dan mendapatkan relevansinya bagi orang percaya di tengah krisis pandemi Covid-19, dimana di tengah situasi krisis dan mencekam ini, kecemasan, kebimbangan, keputusasaan, depresi, hingga kematian menjadi realita dan ancaman yang dihadapi semua orang termasuk orang-orang percaya yang di dalamnya terdapat sejumlah pendeta yang telah menjadi korban hingga kehilangan nyawa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan analisa literatur, dengan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel digital, dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Hasil penelitiannya memberi saran seperti apa seharusnya orang percaya memaknai dan menyikapi fenomena penderitaan di tengah pandemi Covd-19 yang terus berlangsung Orang percaya harus tetap sepenuhnya mempercayai rancangan dan kesetiaan Allah dalam kondisi penderitaan sekalipun, sebab Allah berdaulat atas rencanaNya dan tetap menyadari bahwa tujuan rencana Allah adalah untuk keselamatan umat-Nya sehingga perlu dan harus memandang penderitaan dari sudut pandang Aryanto PramanaBelievers can never escape from suffering. Even in some passages of the Bible shows that believers are called to suffer for God’s sake. Wrong attitudes shown by believers when facing suffering often appear in the form of dissapointment, therefore it affects their relationships with God and others. This is due to a lack of proper understanding of suffering. This research will answer clearly about the theological understanding of suffering. The author also sees the importance of explaining the characteristics that a believer must possess especially regarding to suffering. These characteristics relate to attitudes, beliefs, and actions. The author also explores the attitude of Jesus Christ as an example in dealing with suffering. The results of this study provide solutions and enlightenment for believers in dealing with suffering. Orang percaya tidak luput dari penderitaan. Bahkan dalam beberapa bagian Alkitab menunjukkan bahwa orang percaya dipanggil untuk menderita karena Tuhan. Sikap-sikap yang salah yang ditunjukkan oleh orang percaya saat menghadapi penderitaan seringkali muncul dalam bentuk kekecewaan, sehingga berpengaruh pada relasi dengan Tuhan dan sesama. Hal ini diakibatkan karena kurangnya pemahaman yang benar akan penderitaan. Penelitian ini akan menjawab secara jelas mengenai pengertian teologis tentang penderitaan. Penulis juga melihat pentingnya untuk menjelaskan karakteristik yang harus dimiliki oleh orang percaya khususnya berkaitan dengan penderitaan. Karakteristik ini berkaitan dengan sikap, kepercayaan dan tindakan. Penulis pun menggali sikap Yesus Kristus sebagai teladan dalam menghadapi penderitaan. Hasil penelitian ini memberikan solusi serta pencerahan bagi orang percaya dalam menyikapi penderitaan. Kosma ManurungThe period in which believers live today is a time marked by the ease with which information is obtained. Unfortunately not all information is good, correct, and useful because there is a lot of information circulating out there that is deliberately created to spread hatred, lies, moral depravity, and various other acts that are contrary to Christian faith. The purpose of this article's research is to illustrate the important role that parents in Christian families can play in overcoming the disinformation impact of the Pentecostal theological framework. In this study, researchers used a descriptive analysis method and literature review. The results of this study offer four practical steps that parents in Christian families can take in stemming disinformation in their families, namely by taking protective measures in the form of regulating and restricting children's access to the internet, providing assistance, opening discussion spaces, and being examples that can be followed. by the child. Fredy SimanjuntakThe Covid-19 pandemic has challenged churches to migrate to virtual spaces. This certainly affects the spirituality of the Church in double space. Through this article, we will examine 1 How can the church connect spirituality with technology without getting lost in the vortex of the void of the modern technology itself, 2 How can the church navigate this new landscape without losing focus on its God-given mission? This research is descriptive research, using a qualitative approach. This paper aims to frame a new paradigm for a balanced church in interpreting church spirituality in the vortex of technological progress. The results of this study indicate that the theological system in Christianity is a transformational conceptual framework that is always fresh, flexible, and balanced from various dimensions of life and context. A changing situation requires transformative perspectives and practices so that the church does not lose its spirituality and God's mission in the context of society, nation, and state. Keywords church; reflection; spirituality; technology; the Covid-19 pandemic AbstrakPandemi Covid-19 telah menantang gereja untuk bermigrasi ke ruang virtual. Hal ini tentu mempengaruhi spiritualitas Gereja dalam ruang ganda. Melalui artikel ini akan dikaji 1 Bagaimana gereja dapat menghubungkan spiritualitas dengan teknologi tanpa tersesat dalam pusaran kehampaan teknologi modern itu sendiri, 2 Bagaimana gereja dapat menavigasi lanskap baru ini tanpa kehi-langan fokus pada misi yang diberikan Tuhan? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tulisan ini bertujuan untuk membingkai paradigma baru bagi gereja yang seimbang dalam memaknai spiritualitas gereja dalam pusaran kemajuan teknologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem teologi dalam agama Kristen merupakan kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel dan seimbang dari berbagai di-mensi kehidupan dan konteks. Situasi yang berubah membutuhkan perspektif dan praktik trans-formatif agar gereja tidak kehilangan spiritualitas dan misi Tuhan dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kata kunci gereja; pandemi Covid-19; refleksi; spiritualitas; teknologUmi Wasilatul Firdausiyah Hardivizon HardivizonDiskursus dalam penelitian ini berupa ideologi bencana dalam perspektif Al-Qur’an, yang terfokus pada pembahasan kata fitnah dalam QS. Al-Anbiya [21]35. Tujuan dari penelitian ini berupa upaya untuk menemukan kredibilitas makna dan eksistensi kata fitnah dalam al-Qur'an dengan bingkai teologi bencana. Metode penelitian yang digunakan penulis menggunakan jenis penelitian Library Research, dengan pengumpulan data berupa dokumentasi dan analisis data berupa metode tematik karena tidak semua ayat yang digunakan oleh penulis. Ditambah dengan teori hermeneutika ma’na-cum-maghza, yang dilengkapi dengan triangulasi sumber sebagai keabsahan datanya. Hasil penelitian ini yang terbingkai dalam teologi bencana terhadap kata fitnah pada QS. Al-Anbiya [21]35 memiliki artian sebagai suatu bencana bagi setiap individu maupun kelompok dan eksistensi kata fitnah memiliki dua pembagian yakni keburukan dan kebaikan, serta suatu kematian dan ujian kehidupan merupakan keniscayaan yang pasti akan terjadi, hal tersebut juga sebagai cobaan dari ujian iman. Penafsiran QS. Al-Anbiya [21]35 dengan ma’na-cum-maghza, juga beimplikasi pada kajian tafsir kontemporer dan dapat mempengarui mindset masyarakat terhadap pemaknaan maupun pengucapan kata Krisna R. PakpahanA righteous person who experiences suffering. Making the idea of theodicy where God's sovereignty reigns over the world and also human history is inseparable, including suffering. The issue of suffering is an integral part of the life experience of individuals and communities. The subject of discussion in this study is how wisdom and suffering are understood by humans from the perspective of OT wisdom literature. The purpose of this study is to understand how God's theodicy in human suffering is related to Wisdom Literature. The research method is descriptive qualitative using literature review and Bible study. The findings of this study are that in the suffering that occurs, God continues to declare goodness to humans, suffering is under the sovereignty of God, and with the concept of theodicy, the problem of human suffering can be answered. God's involvement in human suffering shows God's compassionate attitude. Wisdom is a means of solving the problem of suffering, God is just in allowing suffering to occur. His omnipotence still exists in the midst of suffering, In suffering, there is the involvement of God who provides answers to human questions about Bernando Agung Hamonangan SitumorangThe essay presents a philosophical discussion on the question of God’s existence during the time of covid-19. Methodologically it is a qualitative study. The author develops his argument by studying some relevant literature on the topics. The literature study focuses on some concepts of western and easter philosophy regarding the root of human suffering. The result shows that the fact of suffering does not derive from God, but from the free will of human beings. In Buddhism suffering is thought of as dukkha that exists from the very beginning of human life. To be free from this dukkha, man must live the so-called liberating paths of truth. In the western concept, suffering has nothing to do with God, because God himself did not create or will the suffering. God only wants to be consistent with His creation, namely to give full freedom to the Covid-19 telah menantang gereja untuk bermigrasi ke ruang virtual. Hal ini tentu mempengaruhi spiritualitas gereja dalam ruang ganda. Melalui artikel ini akan dikaji 1 Bagaimana gereja dapat menghubungkan spiritualitas dengan teknologi tanpa tersesat dalam pusaran kehampaan teknologi modern itu sendiri, 2 Bagaimana gereja dapat menavigasi lanskap baru ini tanpa kehilangan fokus pada misi yang diberikan Tuhan? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tulisan ini bertujuan untuk membingkai paradigma baru bagi gereja menuju prinsip keseimbangan antara kehidupan material dan spiritualitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem teologi dalam agama Kristen merupakan kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel dan seimbang dari berbagai dimensi kehidupan dan konteks. Situasi yang berubah membutuhkan perspektif dan praktik transformatif agar gereja tidak kehilangan spiritualitas dan misi Tuhan dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan SitumorangStrategi penginjilan merupakan sebuah rencana yang wajib dilakukan sebelum bermisi, mengingat berbagai kasus penganiayaan yang menimpa beberapa penginjil maupun masyarakat Indonesia. Khususnya di daerah suku terabaikan seperti Papua, kini semakin marak terjadinya kasus penganiayaan. Hal ini menimbulkan berbagai luka fisik maupun psikis bagi sebagian kelompok dan yayasan penginjilan. Beberapa penginjil melakukan sebuah terobosan baru untuk meningkatkan mutu terhadap penginjilan yang ada di daerah terabaikan. Beberapa strategi telah disusun sebagai upaya untuk mencerminkan kepribadian Kristus. Melalui metode yang berorientasi pada studi pustaka, tulisan ini menunjukkan bahwa dengan adanya strategi penginjilan yang berorientasi pada faktor internal maupun eksternal, diharapkan mampu untuk menghadapi penganiayaan yang terjadi dalam bermisi. Oleh karena itu, strategi penginjilan harus direncanakan, dipahami serta digunakan sebagai upaya berjaga-jaga untuk menghadapi kasus penganiayaan yang CavanaughRangkaian KisahBermaknaCavanaugh, Brian. Rangkaian Kisah Bermakna. Jakarta Obor. Teologi. Yogyakarta KanisiusGerald O CollinsEdward G ' DanFarrugiaCollins, Gerald O' dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta Kanisius. ke dalam Misteri Yesus KristusSt DarmawijayaDarmawijaya, St. Pengantar ke dalam Misteri Yesus Kristus. Yogyakarta Kanisius. Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta KanisiusNico S DisterDister, Nico S. Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta Kanisius. Gereja. Ende Nusa IndahAvery DullesDulles, Avery. Model-model Gereja. Ende Nusa Indah. Dictionary of TheologyWalter A ElwellElwell, Walter A. Ed.. Evangelical Dictionary of Theology. Michigan Baker Book House. 1990. Dalam hidup kita, pastilah terjadi banyak masalah dan ujian. Terkadang kita merasa hidup begitu berat bahkan seolah tak pernah terlihat jalan keluar. Kita sudah lelah menemukan “apa-mengapa-bagaimana” semua ini bisa terjadi. Kita mungkin akan selalu bertahan menjalaninya dengan perasaan yang beraneka ragam. Mungkin pasrah, mungkin dengan berharap kelak ada jalan keluar, mungkin dengan putus asa, dll. Maka jika kita sudah sampai batas yang tidak bisa ditoleransi oleh akal kita, jangan pernah lupa bahwa sesungguhnya Allah memang memberikan banyak “masalah” untuk manusia. 155 Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, 156 yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” 157 Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. Al-Baqarah 155-157 Lalu, kemanakah kita akan mengembalikan semua “masalah” ini? 5 Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. 6 Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampuai batas, 7 apabila melihat dirinya serba cukup. 8 Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali. QS. Al-Alaq 5-8 Memang, proses seseorang dalam memandang dan menghadapi masalah serta cara “mengembalikan” masalah itu sendiri berbeda-beda. Sesungguhnya, jika setiap permasalahan dikembalikan kepada Allah, maka hati akan menjadi lapang. 109 Dan milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan. QS. Ali Imran 109 28 … orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Qs. Al-Ra’du 28 Akal kita yang terbatas seringkali akan menyadari bahwa relijiusitas memudahkan kita untuk mendapatkan hidup yang bermakna. Jika kita menemui situasi hidup yang memunculkan tantangan sekaligus permasalahan, maka selain berusaha untuk mengatasinya, kita akan cenderung mengembalikannya tawakal kepada Tuhan pemilik kekuatan laa haulaa wa laa kuwwata illaa billaah. Tenangkan Hati dan Jangan Panik Setelah kita tahu kemana harus mengembalikan “masalah” dalam hidup kita, mari kita bersama-sama menenangkan pikiran dan hati kita dan janganlah panik mencari jalan keluarnya. Bagaimana agar hati tenang dan tidak panik? Kita tinggal mengingat nikmat yang telah diberikan Allah. 18 Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. QS. An-Nahl 18 Nikmat Allah sangatlah luas. Bahan, udara yang gratis ini adalah nikmat yang tak terkira. Tubuh yang sehat adalah nikmat yang tak terkira. Pikiran yang waras adalah nikmat yang tidak terkira. Apakah justru kita sendiri yang akan membuatnya sakit? Yuk, mari kita bangkit dalam menjalani hidup yang tidak pernah mulus ini, Sahabat Ummi. Semangat! 11 …. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. … QS. Ar-Ra’d 11. Pembaca Islampos yang dirahmati oleh Allah mudah2an kita semua dapat sabar ketika diberi cobaan dan ujian oleh Allah SWT. Aamiin Allahumma Aamiin.[] Ilustrasi orang sabar. Foto berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang sabar.""Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."Ilustrasi orang sabar. Foto adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu Muhammad; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak pula kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.""Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik.""Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga di perbatasan negerimu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.""Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi dalam surga karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.'

orang beriman selalu mendapat ujian allah apakah kamu pernah mengalami